Sabtu, 11 Oktober 2014

Outline Cerita : Antara Malas dan Mengoptimalkan Waktu

Sebelumnya, mungkin saya sudah pernah menceritakan bagaimana Outline sangat membantu dalam penyelesaian naskah seorang penulis dan saya kira memang membantu sekali. Saya pribadi mendapatkan pelajaran berharga sekaligus kejadian yang bermanfaat selama beberapa bulan ini mengenai Outline atau lebih kita kenal sebagai kerangka cerita.

Saya mau mengakui dengan jujur, bahwa jarang sekali saya memakai outline dalam penyelesaian naskah. Iya, sangat jarang, bahkan bisa dikatakan gak pernah, karena saya sering menulis garis besar cerita di buku tulis dan dengan tulisan tangan. Ini yang bikin saya males nulis panjang-panjang, karena tangan saya cepet capek kalau tulis tangan. Udah kebiasaan dimanjain pake keyboard Lepi. (Halah, alesan). Dan karena itulah, hanya berpedoman dengan garis besar, saya bebas membelokkan cerita ke mana pun yang saya suka. Sampai pada akhirnya, saya tiba di suatu masalah.

NASKAH SAYA GAK SELESAI SAMPAI DEADLINE MENCEKIK!


Maaf, pake capslock semua, karena memang pada waktu itu saya benar-benar panik dan kebingungan. Deadline mendekati seminggu, bahkan mungkin beberapa hari, tetapi cerita baru selesai 80%, itu pun belum masuk tahap pengeditan. Jadilah, selama beberapa hari saya maraton mengerjakan naskah novel tersebut. Patokan saya hanya satu, harus selesai dan bisa dikirimkan! Eh, dua ya? Berarti patokan saya ada 2.

Benar apa kata seorang teman atau dari tweet salah satu media penerbitan ya, bahwa tantangan terbesar seorang penulis adalah menyelesaikan tulisannya. Saya benar-benar merasakan itu. Mulai dari godaan capai, godaan tidur, godaan main, godaan untuk segera menyerah menari-nari di sekitar saya di hari-hari menjelang deadline. Rasanya saya memang mau menyerah pada waktu itu. Namun, pada akhirnya, dari pada semua waktu yang saya korbankan untuk menulis cerita tersebut tidak mubazir, saya pun berkeras agar naskah tersebut selesai, bahkan di hari H deadline, apa pun hasilnya.

Saya menganggap naskah tersebut tidak sempurna dan kemungkinan banyak celah di mana-mana karena saya menyelesaikannya dengan terburu-buru. Tapi di sisi lain, saya pun merasa lega, karena akhirnya bisa menyelesaikan satu naskah, sehingga perhatian dan fokus saya bisa tertuju untuk membuat naskah yang baru.

Dalam hal ini, saya menyadari betul, ketiadaan outline membuat saya harus berpikir dua atau tiga kali lebih keras, karena cerita benar-benar terasa cair dan bisa diarahkan ke mana saja. Patokan yang bebas membuat saya bebas mengembangkannya, tapi perlu diingat kebebasan ini bisa jadi bumerang kalau tidak ada dasar kuat dan tujuan penulisan cerita tersebut. Ini yang membebani saya dalam mengerjakan naskah tersebut.

Tuntutan cepat selesai, hari mepet, jalan cerita yang mandeg, pikiran yang bercabang, belum lagi keinginan untuk menghasilkan sesuatu yang sempurna, membuat naskah ini sempat mengalami beberapa kali revisi, bahkan sebelum selesai dibuat. Itu adalah kesalahan yang paling mematikan. Kawan-kawan saya selalu mengingatkan, ‘selesaikan dulu naskahmu, baru edit!’ Namun, demi menuruti nafsu untuk mengerjakan semuanya menjadi yang terbaik, saya malah menghancurkan sendiri karya saya, sehingga... terpaksa saya memulai dari awal untuk mengerjakan naskah yang kemarin saya kirimkan untuk lomba. Bahkan, beberapa kali saya sempat ganti tema, genre, dan setting cerita, karena merasa naskah yang saya kerjakan ini sangat-sangat buruk. Tapi, pada akhirnya, saya malah balik mengerjakan naskah yang saya anggap buruk ini.

*ampun* m(__ __”)m

Dari bulan Mei sampai September, mungkin waktu efektif dalam pengerjaan naskah ini hanya sekitar dua bulan saja. Sisanya? Mengerjakan tulisan-tulisan baru sebagai pengganti naskah ini. Ada setidaknya 5-6 naskah baru yang mandeg di halaman 50-an dan saya hentikan karena lagi-lagi pikiran saya mentok karena menganggap naskah itu buruk. Hmm..., ini benar-benar racun. Lain kali saya akan ceritakan betapa obsesi membuat sesuatu yang sempurna ini sangat menyakitkan.

Ada waktu sekitar 5 bulan dan saya benar-benar tidak bisa mengelola serta memanfaatkan waktu tersebut secara optimal. Ah..., jika sudah begini, mungkin saya hanya bisa gigit jari. Waktu yang harusnya optimal malah jadi terbuang begitu saja. Sangat disayangkan. Naskah lomba tersebut seharusnya dikumpulkan akhir agustus, tetapi panitia memberi kelonggaran dengan memberi tambahan waktu 1 bulan, sehingga deadline menjadi 30 september lalu. Ini merupakan suatu keberuntungan karena ada tambahan waktu 1 bulan. Bagaimana jika tidak? Mungkin saya akan merutuki diri serta menyesali sikap saya yang kurang memanfaatkan waktu.

Karena itu, saat ini, saya pun berusaha membiasakan diri membuat outline terlebih dahulu dan memantapkan apa yang ingin saya tulis, supaya tidak terjebak dalam dilema-dilema selama penulisan maupun obsesi-obsesi kesempurnaan, yang bisa membuat naskah-naskah saya terjun bebas karena tak lagi diperhatikan. Mengikuti lomba menulis novel kemarin benar-benar pengalaman berharga. Setidaknya, saya diingatkan supaya lebih fokus dan rapi dalam mengerjakan sesuatu. Untuk kawan-kawan yang ingin jadi penulis atau sedang belajar menulis, paling tidak buatlah Outline terlebih dahulu, supaya kalian lebih santai dan bisa mengerjakan maupun mencari bahan untuk tulisan yang akan kalian kerjakan.

Mari menulis! (^^)/

2 komentar:

  1. Aku juga akhir-akhir ini pakai outline, biar bisa menerka-nerka gitu Din! :)))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku masih kesulitan pakai Outline, mbak >.<
      Makanya antara suka-tidak suka pakai ini, walau sekarang agak dipaksakan sih.

      Hapus