Sabtu, 24 Januari 2015

Si Ganteng dan Si Telmi

   Orang-orang biasa berpikir, bahwa apa yang terbaik untuk dirinya, juga terbaik untuk orang lain. Apa yang menurutnya bagus, juga bagus untuk orang lain. Ketika ada orang yang tidak sependapat dengan pemikirannya, ada kecenderungan bagi mereka untuk memaksakan pendapat mereka. Walau..., tak sedikit juga yang abai dengan perbedaan pendapat dan mengganggapnya hal biasa.

   Begitu pula ketika saya memelihara kucing. Yang ribut dan komentar bukan saya, tapi orang-orang di sekitar saya. Kadang saya agak geli sekaligus miris. Sering saya ditanya mengenai jenis kucing yang saya pelihara. Begitu saya menjawab kalau saya memelihara kucing kampung, mereka lantas terheran-heran dan kembali bertanya, 'Kenapa nggak memelihara persia?', 'Kenapa bukan anggora?', dan tentu saja saya balas menjawab, "Saya dapat kucing itu gratisan kok, ya, saya terima apa adanya." 

   Mereka tambah heran lagi karena saya lempeng aja memelihara kucing kampung. Saya tahu apa yang ada di dalam pikiran mereka, anak-anak kucing kampung sudah jelas tidak akan laku dijual, bahkan dikasih ke orang saja belum tentu ada orang yang mau melihara. Kucing kampung selalu identik dengan sampah, liar, garong, nakal, 'penyakitan', kotor, dan segala macam hal-hal buruk lainnya. Padahal, kalau kita mau merenung lebih dalam, semua kucing atau semua binatang, memiliki potensi seperti itu bila dia diliarkan. Jika persia dan anggora kemungkinan bisa memberikan keuntungan, memelihara kucing kampung justru membutuhkan ketulusan. Seperti apa yang saya bilang tadi, kucing ini erat dengan stigma negatif dan jarang ada yang mau memeliharanya dengan baik. Dipelihara pun mungkin dibiarkan nyari makan sendiri dari sampah yang ada. (Si Mimi pernah pamer bawa tulang paha yang dia dapet dari sampah lho. Dibawa pulang ke rumah dan dipamerin di depanku ama sepupuku. Ya jelas aku langsung jejeritan ngerebut tulang yang dia bawa dan kubuang lagi. Salah sendiri pamer ke dalam rumah. --", habis itu kukasih makanannya).
   
   Saya selalu berpikir, mau kucing kampung kek atau ras keturunan apalah, selama kita ngerawatnya jelek, ya jangan harap kucingnya bakal bagus. Makanya, walau si Mimi dan anak-anaknya kucing kampung, saya sering ngasih pakan yang menurut saya bagus untuk mereka. 3 kali sehari, ini kucing-kucing dapat jatah nasi + ikan yang udah diulet. Kebetulan, ada ikan murah di pasar. Per kilo ikan segar ini harganya cuma 8 ribu. Biasanya, tiap seminggu sekali saya beli 2 kilo untuk kemudian direbus sendiri di rumah. Selain ikan, kadang-kadang saya kasih juga makanan kucing padat. Biasanya Classical, rata-rata pada gak mau whiskas :)). Kalau ada yang sakit, baru deh, kukasih royal canin.

   Wew..., kelihatan eksklusif banget yak? Kucing kampung kok sampai dikasih royal canin. Mewah amat. :))) Seperti yang saya katakan tadi, saya selalu berpikir mau kucing kampung atau keturunan, kalau perawatannya bagus ya bakal jadi bagus, kalau jelek ya jadi jelek. Dan nyatanya, keempat kucing saya juga bisa tumbuh dengan baik selama setengah tahun ini. Cuma, yah... ini masa lalu. Entah seperti apa mereka sekarang.

Si Ganteng

   Si Ganteng yang kumaksud siapa lagi kalau bukan Jo. Ini satu-satunya jantan di antara kucing-kucing betina lainnya lho. Dia pintar, suka main, energik, juga paling suka ndusel. Kalau saya di kamar, jarang ngganggu, kecuali kalau dia laper, baru deh saya diganggu habis-habisan. Gak pernah nggigit kecuali kalau saya ngajak main-main. Badannya kurus kalau untuk ukuran jantan, tapi suaranya dalem dan agak seran. Buntutnya panjang dengan ujung yang agak bengkok. Jo ini kucing terganteng yang pernah saya lihat. Selain fisiknya ganteng, dia juga punya pembawaan yang kalem lho. Usilnya baru keluar pas mau main aja.

Penampakan si Ganteng
   Gimana? Jo-ku ganteng, kan? Kan? Kan? *dikeplak*

   *uhukz*

   Maaf, kalau keingetan Jo, saya kadang-kadang jadi lupa diri. Sama seperti Kiki, Jo punya mata yang besar dan tatapannya itu, lho... melasi banget. Di atas ini adalah foto yang saya ambil tanggal 31 Desember 2014, sehari sebelum saya membawa Jo dan saudara-saudaranya ke rumah simbah. Kucing ini beneran deh, usianya mungkin baru setengah tahun, ya, tapi pembawaannya dewasa banget. Kalau biasanya kucing-kucing jantan rada arogan dan gak mau kalah, terutama sama kucing kecil, Jo enggak. Waktu makan sama anak-anak Mimi yang baru, dia malah ngalahi, mundur teratur dan liat anak-anak Mimi yang masih kecil-kecil makan di wadahnya. Baru setelah mereka pergi, ia balik makan. Sama kucing-kucing jantan di sekitar kompleks, yang kutahu Jo juga gak pernah berantem. Kalau ada bau-bau pertarungan, dia memang mendekat, tapi cuma ngincer doang, gak ikutan berantem.

   Duh..., saya nyesek kalau inget sama si Jo. Saya punya banyak pengalaman lucu sama Jo, terlebih ketika lagi sholat. Jadi, ceritanya, waktu itu saya sedang sholat. Pintu kamar tentu saja saya tutup agar kucing-kucing gak masuk. Eh, nggak tahunya mereka malah mlumpat masuk dari jendela kamar yang kebuka. Udah deh, saya ya gak bisa ngapa-ngapain, lha wong lagi sholat. Nah, si Jo ini (kadang juga Kiki ama Sissy, Mimi gak berani masuk kamar saya kecuali cuma buat nyakar kasur) kadang suka duduk nungguin di samping sajadah. Kalau lagi minta perhatian, malah tiduran di tengah sajadah, pernah juga masuk ke dalam rukuh. Yang paling aneh lagi, pernah waktu wiridan, ini kucing naik ke pangkuan saya terus tidur dengan santainya. Entah deh... apa yang dimau kucing ini. Selesai wiridan, eh, dianya malah ngeloyor pergi. Gak jadi diajak main .

  Di antara ketiga kucing yang lain, dia ini yang paling lemah buat berburu. Kecuali... ehm... berburu kecoa. Sering banget sih, dia main-main ama kecoa yang ada di rumah. Istilahnya kek disiksa gitu sebelum.... errrr... dimakan. Saya kepikiran, kira-kira di desa sana dia bakal bisa bertahan gak ya. Saya takut, dia kenapa-napa. Di sana walau di rumah simbah, tapi tetep aja untuk makanan musti cari sendiri di sekitar sawah atau kebun simbah. Saya takut mereka ketemu ular >.<

Tuh, Jo sok unyu banget kan?

Ini malah tahu banget mau difoto


Si Telmi

   Bukan tanpa maksud saya nyebut kucing terakhir saya, yaitu Sissy, sebagai si telmi. Emang kucing ini telmi banget sih. Udah disiapin wadah buat pup, sering saya taruh di tempat pupnya juga, eh malah nge-pup di tempat lain, di rumahnya tetangga --". Kadang-kadang juga kalau diajak guyonan gak mudeng, malah duduk sambil males-malesan atau njilati badannya.

Si Telmi, Sissy

   Itu foto yang saya ambil saat 1 Januari 2015, jam-jam awal sebelum berangkat ke Ngawi. Tatapannya kelihatan melasi juga, kan? Saya merasa, kucing-kucing saya sebenarnya udah 'kerasa' kalau mereka mau dilepas. Seharian itu, di rabu malam sama kamis pagi, mereka diem aja. Nggak biasanya nggak ngeributi saya maupun orangtua saya. Bahkan Mimi yang getol duduk dekat kulkas (ikannya biasanya disimpen di sana), juga kelihatan kek gak bersemangat. Gimana, ya... sulit memang buat ngungkapinnya. Saya kira, hewan pun punya perasaan sama seperti manusia. Bahasa mereka memang beda dari kita, tapi... mereka mengerti dan merasakan apa yang kita rasakan juga.

   Si sissy ini yang paling getol masuk kamar saya. Walau pun sering diusir keluar kamar, tetep aja nekat masuk lewat jendela, kalau gak, ngeong-ngeong di depan pintu kamar, minta masuk. Gak jelas juga sih, kenapa dia pengin banget masuk kamar. Tapi, setahu saya, Sissy kek mau nemani saya. Di kamar tuh, dia gak pernah ngapa-ngapain kecuali tidur atau njilat badan doang. Kalau ada saudaranya, si Jo, nah... baru dah mereka berantem. Sissy ini plek-nya si Jo, lho. Mereka berdua kompak abis. Ke mana-mana berdua, kasian si Kiki :)))

   Tapi, jangan salah sangka, ya. Ada sesuatu yang cukup mengejutkan aku perhatiin di sini. Kita sering beranggapan, kalau hewan akan mengawini saudara atau mungkin orangtuanya sendiri, ya, tapi kalau dalam cerita Sissy ama Jo, saya lihat malah tidak. Pas si Sissy birahi, emang si Jo nguntit ke mana pun Sissy pergi, kek saudara laki-laki yang khawatir gitu. Namun, nggak terlihat kalau mereka berdua kawin. Saya jadi terheran-heran, apa karena ngumpul bareng, jadinya mereka paham kalau mereka ini saudara atau bukan yak. Masih jadi tanda tanya nih.

   Sissy ini gak segalak Kiki, tapi juga gak seaktif Jo. Dia ini tipe kucing pemalas, doyan tidur mulu, tapi bisa dibilang kucing pemberani dan gak cemen. Hobinya mbolang, jalan-jalan ke mana aja (pas kecil), begitu usianya 5-6 bulanan, demennya di rumah, gak suka di luar. Malah kebalikan dari Kiki, yang penakut waktu kecil tapi begitu gede malah jadi hobi ngeluyur. Badan Sissy lebih besar dari dua saudaranya. Ekornya lurus dan berwarna hitam. Sekilas dilihat, dia mirip kek kucing anggora (mungkin?). Matanya sipit dan idungnya rada item. Lucu dah.

Sissy waktu kecil, tidur bareng Mimi
   
   Suatu kali juga, pernah saya sedang tidur. Mendadak kucing ini masuk lewat jendela, tahu-tahu udah ikutan tidur aja di dekat kaki saya. Pernah juga ganggu saya pas sholat, tapi kalau saya diem saja, udah deh, naik ke tempat tidur terus molor. :)))

 
ini nih, waktu panjat jendela

   Terakhir

   Ada begitu banyak hal yang terjadi bersama saya dan kucing-kucing saya, walau kami baru tinggal selama setengah tahunan. Dari mereka, saya belajar bersabar (walau lebih banyak jengkelnya), kemudian juga belajar memahami hewan (sok iyeh aja dah), juga saya berusaha belajar ketulusan. Merawat kucing dan memeliharanya memang berat. Kalau kalian ingin memelihara hewan, pikirkan matang-matang, jangan sampai malah kalian menelantarkan hewan itu sendiri, kasihan. Sekarang, saya pasrahkan pada Tuhan mengenai kelangsung hidup kucing-kucing saya ini. Saya sudah nggak sanggup merawat mereka dan saya yakin, Dia Yang Maha Kaya akan merawat mereka lebih baik dari pada saya.

   Dunia kucing liar tentu keras dan penuh pertarungan. Salah, dunia binatang liar itu keras. Saya harap mereka masih kumpul dan selalu bersama, serta bisa bertahan. Saya merindukan mereka, jujur. Dan, tulisan ini saya persembahkan untuk mereka. Walau cuma binatang, saya merasa... Mimi dan anak-anaknya sudah menjadi keluarga. Mungkin ini kedengaran berlebihan. Dan pesan bagi orang-orang yang gak suka kucing dengan alasan apa pun, tolong dah... jangan sakiti kucing-kucing liar. Mereka mungkin garong atau nyebelin, njengkelin malah. Tapi, kalau diusir pake cipratan air atau digusah jauh-jauh juga mereka bakal pergi kok. Gak perlu dipukul, ditendang atau malah dianiaya. Mereka cuma hewan, gak memiliki akal. Emang sih, mereka kalau ndusel itu nyebelinnya minta ampun dan bikin kita keganggu, tapi itu bukan ijin untuk menganiaya mereka, kan?

   Sedikit cerita, kucing saya Mimi pernah kena tendangan orang di bagian perut/paru-parunya. Dia ngeluyur dari pagi. Biasanya siang/sore dia udah pulang, tapi hari itu, malem sekitar jam 11-an dia baru pulang. Itu pun, kalau keadaan sekitar gak sepi, saya pasti gak bisa ndenger suaranya, karena eongannya kecil banget. Keadaannya waktu itu, napasnya pendek-pendek (kayak orang megap-megap susah napas), gak bisa ngeong, gak bisa makan-minum, hidungnya pucat, dan keadaan itu berlangsung selama 1 hari. Besoknya, saya langsung bawa dia ke dokter hewan. Alhamdulillah, setelah dari sana, keadaannya berangsur membaik. Tapi, sampai sekarang saya gak habis pikir, ada ya... yang tega sampai nendang-nendang kucing ini segala. Kucing tetangga saya malah diracun sampai mati, bahkan... di televisi... kita pernah lihat ada orang yang tega mbunuh kucing-kucing ini pake senapan angin.

   Euh..., saya harap, di desa, mereka tidak bertemu orang-orang sadis yang membenci mereka. Saya harap, mereka bersama di lingkungan yang sayang mereka. Nggak tega saya, kalau mbayangin mereka kena tendang atau bahkan dilempari batu sama anak-anak. Ah sudahlah, kalau saya teruskan, bisa-bisa saya jadi mikir yang enggak-enggak. Di bawah ini, ada foto-foto kucing saya dari kecil sampai besar. Saya bersyukur, dulu sempat mengabadikan mereka dalam jepretan foto. Padahal... saya sebenarnya bukan tipe orang yang senang mengabadikan sesuatu, kecuali kalau itu momen penting. Di sini, mulai dari awal kelahiran mereka, akhir Mei 2014.

Jo, Kiki, dan Sissy
Kucing Tidurnya pada sok unyu semua ya, tuh liat Kiki

Mimi's Attack. Awaaaaas

So sweeeeettt

Ndoro kucing mukanya galak
Maaf, ya, Pus, aku gak merestui hubungan kalian :(

Apa Loe liat-liat?

Gaya tidur macam apa ini?
   Sebenarnya, masih ada banyak foto-foto mereka yang lucu. Tapi, ya sudahlah, sekian aja, dari pada nanti malah semakin berat buat buka laman ini. Terima kasih sudah mau membaca ceritaku bersama kucing-kucingku. Kapan-kapan, saya akan bercerita mengenai sesuatu yang lain (nulis cerita sih sebenarnya). Sampai jumpa, happy weekend!

   nb: spesial thanks buat adekku yang dari kemarin nanyain soal cerita si Jo ama Sissy. Kangen mereka juga ya? :p


4 komentar:

  1. Mbak kayak temenku deh. Hobi melihara kucing. Pas ditinggal penempatan dan balik ke rumah akunnya langsung penuh sama postingan kucing. Katanya kangen -_-"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak, berat yo, kalau udah sayang banget sama hewan peliharaan, terus mendadak harus pisah ama mereka. Kangennya itu bener-bener gede banget. Berasa itu peliharaan udah seperti keluarga sendiri :'(

      Hapus
  2. Semoga jo sama sissy sehat ya din, brarti skrg yg di rumah tinggal 2 ekor dong.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekarang blas gak ada yang di rumah, mbak. Semua udah diangkut pergi ke Ngawi. Rumah sepi tanpa kucing .___.

      Hapus