Sabtu, 10 Januari 2015

1 Nafas, 1 Kehidupan


   Mungkin kalian bakal heran dengan isi posting hari ini karena sangkut pautnya dengan dua foto di atas sangat kecil. Sebelumnya, saya ingin ngucapin selamat tahun baru 2015! Semoga tahun ini kita bisa mencapai resolusi serta menggapai impian! Semangat 2015! (^^)9

   Sudah lama sekali sejak saya terakhir nulis blog. Euh..., sepertinya saya harus meningkatkan disiplin waktu untuk rajin nulis blog seminggu sekali. Tapi, ya itu..., kadang ada banyak kendala untuk menulis di blog ini. (kalau yang ini mah, ntar jadinya banyak alesan). Awal minggu tahun baru kemarin, saya menghabiskan liburan di tempat simbah saya di daerah Jawa Timur. Tempatnya cukup asri (baca: masih banyak sawah dan pohon), sayangnya..., kalau siang puanasnya minta ampun. Sekalipun di daerah jawa dan dekat dengan kota,  daerah simbah saya termasuk memiliki akses jalan yang buruk. Sepanjang ingatan saya, dari kecil sampai sekarang udah lulus kuliah, jalan menuju ke area rumah simbah nggak pernah bagus. selalu bergelombang, penuh batu dan berdebu. Untunglah, kemarin ketika pulang, saya lihat mulai ada proyek pembangunan jalan, jadi jalan di sana dipaving oleh kelurahan.

   Nah, sebenarnya dua foto di atas berkaitan dengan kepulangan saya ke rumah mbah. Ketiga kucing itu adalah kucing-kucing saya yang sekarang saya lepas di desa. Kalau dihitung, hampir seminggu saya melepaskan mereka di desa. Yah..., saya jadi rindu pada mereka, terutama pada kucing berbulu oranye. Namanya Jo dan dia termasuk pintar. Yang belang dan item termasuk pinter juga sik. Cuma, yang belang rada telmi, kalau yang item suka nggigit. Cuma Jo aja yang     walaupun suka ndusel n minta makan terus, termasuk patuh dan gampang akrab. Kapan-kapan, akan saya ceritakan soal kucing-kucing ini deh.


   Sekarang, mari balik ke judul catatan kali ini, 1 Nafas, 1 Kehidupan. Kira-kira, apa yang kalian pikirkan ketika mendengar ini? Atau mungkin, apa yang kalian bayangkan? Seorang manusia atau apa? Saat saya menemukan judul ini, yang saya pikirkan adalah mengenai kelahiran seorang anak. Yah, mungkin kedengaran agak berlebihan, tapi memang itulah yang saya rasakan untuk catatan kali ini. Kelahiran seorang anak atau lebih tepatnya... sebuah karya.

   Seorang penulis seperti saya, terkadang mengganggap karyanya seperti anak mereka sendiri. Seorang anak yang lahir dari jerih-payah, pengorbanan waktu, serta perasan ide. Sebagai penulis atau orangtua yang telah melahirkan anaknya, tentu saya atau mungkin kita mengharapkan hal yang lebih dari karya-karya yang kita hasilkan. Mungkin kita mengharapkan karya kita tumbuh menjadi karya yang besar, agung, dan memiliki manfaat bagi orang-orang yang membacanya. Kadang juga kita tenggelam dalam angan-angan, membayangkan cerita-cerita kita bisa menghantarkan kita seperti ke posisi JK Rowling atau Dan Brown, atau siapa pun lah (yang penting menjadi pengarang terkenal atau best seller). Sebenarnya itu tidak salah. Bukankah setiap orangtua memang menginginkan anak-anaknya menjadi seseorang yang berhasil?

   Dalam satu tarikan nafas, ada sebuah kehidupan. Karya yang kita buat, buku kita, juga memiliki kehidupan itu. Ketika kita mengawali menulis cerita, maka saat itu pula kehidupan tercipta pada karya yang kita buat. Seringkali awal tarikan nafas ini mungkin tidak cocok dengan ekspetasi kita sebelumnya. Sikap perfeksionis yang terlalu berlebihan, serta ketakutan-ketakutan tertentu bisa menghalangi aliran tarikan nafas pertama ini. Percayalah, saya pun mengalami hal ini berulang kali.

   Ada setidaknya saya mengulang tiap tarikan nafas ini sekitar 5 kali atau lebih, tapi belum juga menemukan tarikan nafas yang cocok sesuai dengan feel. Ini jelas saja membingungkan dan rumit. Kerangka ada, bayangan ide cerita ada, tapi mengawali satu langkah untuk mengetik saja susahnya bukan main. Seolah-olah, tanpa nafas yang pas, tanpa detakan yang benar, cerita tidak akan berjalan dengan sesuai. Dan nyatanya, memang benar (terjadi pada saya). Selama ini saya mencermati, dari sekian tulisan, baru 1 novel yang benar-benar sesuai dengan nafas yang saya maksud. Cara aliran novel tersebut bercerita pun berbeda dengan cara aliran novel-novel lain bercerita. Sering saya merenung, mencari-cari detakan serta nafas yang sama seperti novel tersebut, tapi hasilnya nihil. Saya sering gagal menemukan nafas dan detak pertama bagi calon-calon anak saya. Jelas... ini bukan kabar baik.
   
   Ada yang bilang, hal tersebut bisa jadi writer's block, itu bisa jadi benar. Karena saya langsung stuck tanpa bisa mengerjakan apa pun, membiarkan ide-ide menari-nari begitu saja di dalam kepala tanpa bisa menuangkannya ke dalam halaman kosong. Euh..., sejujurnya, ini amat menyiksa dan membuat kesal. Saya seolah digoda oleh pikiran saya sendiri. Sampai pada akhirnya, saya memutuskan untuk menjaga jarak dulu dari novel-novel yang membutuhkan nafas pertama ini.

  Bagaimana dengan kalian? Apa kalian sering mengalami kesulitan dalam mengawali sesuatu? Hati-hati dengan sikap perfeksionis, karena itu bisa menjadi kendala yang besar waktu menulis. Juga, berkompromilah pada kritikan, karena itu yang akan membesarkan kalian. Mari kita sama-sama belajar dan mengatasi masalah. Semoga kalian punya saran untuk masalah nafas pertama ini, karena saya benar-benar merasa hampa karena sulit mengerjakan apa-apa. T__T

Tidak ada komentar:

Posting Komentar