Kamis, 12 Maret 2015

Riveril

Riverblue masih seindah dulu. Airnya begitu jernih hingga dasarnya terlihat. Bebatuan berwarna kelabu berserakan hampir di sepanjang sungai. Ada juga batu-batu besar yang setengah tenggelam di tengah-tengah sungai yang lebar. Rehan memandang keindahan riverblue dalam diam. Sudah hampir setengah hari ia di sana dan tak terlihat tanda-tanda akan beranjak dari tepi sungai, padahal kudanya sudah selesai merumput dan beristirahat.

Kurang dari 5000 langkah ia akan sampai di Prussel, desanya dulu. Namun, entah kenapa, rasanya berat sekali untuk pergi ke sana. Kenangan-kenangan semasa tinggal di desa saling tumpang tindih, berebut untuk naik ke permukaan dan membuat hatinya sedih. Rehan menghela napas. Pria berambut hitam pendek itu lalu merebahkan tubuhnya di atas rerumputan yang lembut. Matanya menerawang ke langit. Kemudian, ia pun memejamkan mata.

Suasana tenang, nyaris sepi. Hampir tidak ada suara apa pun di sini kecuali suara aliran air dan serangga. Angin berembus lembut dari arah utara, membawa bau segar dan dingin. Tempat ini berada di kaki gunung, dan meski hari sudah siang, cuaca di sini masih dingin. Dengan langit yang berawan, itu membuat keadaan semakin bertambah lembap.




Rehan ingat, semasa kecil dulu, ia sering menghabiskan waktu di tepi sungai bersama kawan-kawannya, entah itu mencari rumput, memancing, atau mandi di sungai. Yah, sekalipun sudah diingatkan untuk tidak sembarangan berenang di riverblue    sungai ini termasuk berarus deras, mereka tidak mengindahkan peringatan itu. Gara-gara kebandelan mereka, Rehan harus kehilangan 5 kawannya di waktu yang berbeda.

Rasa bersalah mendadak mencubit hati Rehan. Riverblue telah menelan begitu banyak korban, terutama dari kalangan anak-anak, tetapi ia dan teman-temannya tetap tidak kapok dan masih nekat berenang di sungai tanpa pengawasan orangtua. Hal itu membuat Liarra   tetangganya, jadi kesal dan sering mengadukan mereka pada Tetua desa kalau ia dan kawan-kawannya ketahuan bermain di sungai.

Sudut bibir Rehan tertarik ke atas, membentuk senyuman kecil. Liarra seumuran dengannya. Gadis itu kurus dan rambutnya senantiasa dikepang. Kalau sedang kesal, dia selalu berkacak pinggang dan melotot ke arahnya sambil memajukan bibir.

“Kalau kalian tidak segera naik ke atas, aku akan melapor pada Tetua Desa, supaya kalian dihukum!” seru Liarra ketika melihat Rehan dan kawan-kawannya asyik bermain air di pinggir sungai. Usia mereka pada waktu itu sama-sama 8 tahun. Matanya bulat dan jernih seperti kelereng. Air mukanya kelihatan galak, walau sedikit menggelikan.

"Kalau kau melaporkan kami, aku akan melaporkan pada Ibumu kalau kemarin kau mencuri pie ayam yang dia siapkan untuk dibagikan ke perayaan!” Rehan balas berseru.

Ia tanpa sengaja memergoki Liarra mengambil beberapa potong pie ayam dari dapur dan pergi ke ladang untuk menyantap semua makanan itu sendirian. Yah, pie buatan Ibu Liarra memang sangat enak, semua orang tahu itu dan Rehan bisa memahami kalau gadis itu tidak bisa menahan diri untuk tidak mengambil pie-nya.

Liarra semakin melotot. Kali ini pipinya bersemu merah, bukan karena marah tapi malu sekaligus takut. Kemudian, tanpa berkata-kata lagi, gadis kecil itu berbalik dan bergegas kembali ke desa, diiringi gelak tawa Rehan dan kawan-kawannya.

Rehan membuka mata. Senyumnya kian lebar mengingat betapa malunya Liarra saat itu. Liarra..., lelaki berjubah gelap itu berdiri dari tempatnya merebahkan diri. Ia mengambil tali kekang kudanya yang terikat di salah satu pohon.

“Ayo, kita pergi, June,” ucapnya pada si kuda. Mengingat Liarra membuat Rehan  berani.

***

Papan nama Prussel telah koyak dan lapuk dimakan usia serta cuaca. Kayunya tercuil di sana-sini, bahkan huruf yang tersisa pada papan kayu tersebut hanyalah ‘russ’. Noda-noda hitam mengotori tiang-tiang kayu penyangga papan nama Prussel. Semak belukar, rumput-rumput liar tumbuh subur di setiap penjuru desa. Tidak ada kawasan di desa ini yang terawat dan rapi. Bangkai-bangkai rumah menyembul di antara ilalang-ilalang tinggi.

Rehan memaksakan diri untuk memasuki desa. Kenangan-kenangan itu kembali datang menyapa, memperlihatkan kilasan kejadian memuakkan yang paling dibenci Rehan seumur hidupnya. Pemuda itu diam sejenak untuk mengambil napas. Dalam beberapa langkah saja, ia sudah merasa sesak dan tertekan. Matanya panas dan tanpa diinginkan air matanya mengalir membasahi pipi. Rehan tak sanggup menahan tangisnya. Meski bibirnya terkatup rapat, pemandangan di hadapannya membuat hatinya sakit dan tubuhnya menggigil. Ada begitu banyak kenangan yang mencoba mencapai pikirannya, dari yang mulai membahagiakan sampai menyakitkan.

“Rehan sialan!! Kenapa tidak bilang kau sudah masuk rumah?!!”

Rehan terpaku sejenak ketika melihat Liarra tidak berpakaian lengkap di dalam rumah. Pemuda itu melongo dan bantingan di pintu kamar Liarra langsung membuat bibirnya terkatup. Ia menatap pintu kamar gadis itu dan sempat mendengar gadis itu mengomel-ngomel sambil mengumpat ke sana-kemari.

Sementara itu, Ibu Liarra tertawa melihat putrinya mengamuk. “Makanya, sudah Ibu bilang berulang kali, walau di rumah, tetaplah berpakaian lengkap. Kalau ada tamu yang datang sewaktu-waktu, kau kan tidak perlu malu seperti ini.”

Muka Rehan memerah. Dua tangannya masih memegang pinggiran keranjang berisi tumpukan kentang dan wortel yang nantinya akan dimasak Ibu Liarra. Ia baru saja dari ladang dan ibunya menyuruhnya mengantar sekeranjang kentang dan wortel ini untuk keluarga Liarra.

“Bibi, di mana aku bisa menaruh keranjang ini?” tanya Rehan.

“Taruh saja di sana,” Ibu Liarra menunjuk ke salah satu sudut ruang keluarga. “Supaya nanti kami lebih mudah mengambilnya.”

Rehan buru-buru meletakkan keranjang itu di sana kemudian pamit pergi. Sepanjang perjalanan menuju rumah, pemuda itu masih teringat sosok Liarra tadi. Mukanya memerah dan kalau sampai Liarra tahu apa yang ada di dalam pikirannya sekarang, pasti gadis berkepang satu itu akan murka dan menyebutnya otak mesum.

June mendengus, membuyarkan lamunan Rehan. Kuda cokelat itu mendorongkan kepalanya ke bahu Rehan, memberinya isyarat untuk maju.

“Aku tidak bisa, June,” katanya lirih. “Aku tidak bisa melangkah lebih jauh lagi.” Bahunya berguncang keras. Lelaki itu tertunduk menahan tangisnya yang semakin kencang.

June meringkik. Dia berjalan lebih dulu ke depan majikannya dan menarik-narik tali kekang yang digenggam Rehan. Sikapnya seolah mengatakan, ‘ayo jalan lagi, supaya kita cepat pergi dari sini’.

Rehan kembali melangkah meski tersendat-sendat. Tiap 2 atau 3 langkah, ia berhenti untuk menghapus air mata. Sikapnya seperti anak kecil berumur 7 tahun yang mendapat sabetan rotan karena ketahuan mencuri makanan. Kalau Liarra melihat keadaannya saat ini, gadis itu pasti akan tertawa keras. Rehan menahan diri supaya tidak menangis lagi. Ia menghapus sisa-sisa air mata yang membasahi pipi. Lelaki itu memandang ke depan dengan tegar, berusaha untuk terlihat kuat meski yang nampak sebaliknya.

Lelaki itu meninggalkan desanya hanya untuk memasuki kawasan kebun serta ladang terbengkalai. Sama seperti area perkampungan yang lebih mirip tempat berhantu, area lapang yang dulunya ladang atau kebun ini sekarang terlihat seperti hutan ilalang. Tak ada yang tersisa di tempat ini.

Rehan berhenti sejenak. Tatapannya tertuju ke suatu sudut yang tertutup ilalang. Dulunya, ladang tempatnya bekerja ada di balik ilalang-ilalang itu. Jika waktu makan siang tiba, ia dan penduduk desa lain akan berduyun-duyun kembali ke rumah. Pada saat itu, biasanya ia bebas bicara dengan Liarra.

“Sudah seminggu kau tidak bicara padaku,” ujar Rehan pada Liarra yang berjalan di depannya.

Gadis itu diam tak menanggapi.

“Kau marah padaku?”

Liarra masih tak membalas.

“Tapi, itu, kan bukan salahku. Aku masuk waktu kau...,” kata-kata Rehan terhenti waktu Liarra menoleh dan melotot ke arahnya.

Pemuda itu nyengir. “Jujur..., saat melihatmu waktu itu dan saat ini, rasanya kau seperti orang yang berbeda. Kalau waktu itu kau kelihatan..., ehm...’menarik’....,” ucapannya membuat Liarra semakin melotot, “Kalau sekarang kau kelihatan seperti hantu,” Rehan nyengir.

“Kau ini menyebalkan, Han!” Liarra membuang tatapannya ke depan.

Rehan terkekeh. “Sore nanti, kutunggu di Riveril.”

Sekarang, Rehan menuju tempat itu.

***

Riveril merupakan sebutan anak sungai riverblue yang mengalir ke arah timur, membelah kawasan perkebunan dengan area pemakaman. Anak sungai ini tidak terlalu lebar dan dangkal. Jarak antara satu sisi sungai dengan sisi lainnya cuma 10 langkah. Ada jembatan kayu kecil yang menghubungkan Prussel ke seberang riveril. Sebelum mencapai jembatan, Rehan berbelok ke kanan. Ia bersama June berjalan menyusuri tepian sungai yang bisa dilalui oleh dua orang sekaligus. Kemudian, saat sampai di sebuah pohon yang tumbuh terlalu ke dekat dengan sungai, lelaki itu pun berhenti.

Sorot mata Rehan semakin sayu. Rasa sakit kembali memenuhi hatinya. Di sini... terakhir kalinya ia melihat Liarra.

“Kalau meminta bertemu bisa tidak, di tempat yang lebih baik?” Liarra mengomel ketika Rehan sampai di sana. “Ini sudah sore, dekat makam, dan....” kata-katanya terhenti karena tiba-tiba Rehan menunduk dan mencium bibirnya.

Gadis itu sama sekali tidak melawan ketika pelan-pelan ciuman Rehan semakin dalam dan kuat.

“Kukira di sini tempat paling aman untuk kita bertemu,” Rehan sedikit terengah ketika melepaskan bibirnya dari bibir Liarra. Ia menjauh dari gadis itu dan mendapati mukanya memerah. Seketika, seringai iseng muncul di wajah Rehan. Ini bukan pertama kalinya ia mencium Liarra dan gadis itu selalu malu sehabis mereka berciuman. “Lain kali, aku akan sering-sering menciummu supaya kau tidak mengomeliku,” ujarnya usil.

Liarra melotot memandangnya. “Jangan coba-coba, ya. Aku...,” kata-katanya kembali terhenti karena Rehan menciumnya lagi. Kali ini bukan hanya bibir Rehan yang menyentuh bibirnya, tangan lelaki itupun bergerak untuk memeluknya.

“Han...!!” Liarra mendorong lelaki itu, berusaha mengambil napas karena Rehan terlalu lama dan.... berhasrat menciumnya. “Jangan lakukan itu lagi!” dia mendelik marah. Untung pengendalian dirinya masih bekerja, kalau tidak, sewaktu Rehan mulai terpengaruh dengan hasratnya pasti dirinya akan ikut hanyut.

Rehan tertawa tanpa beban. Ia lalu menjauh dari Liarra dan duduk di atas batang pohon yang menjulur ke arah sungai. Batang pohon itu melintang di tepi sungai dan posisinya cukup rendah, sehingga bisa diduduki siapa saja.

“Apa kau sudah dengar gosip, perampok-perampok dari kota sebelah bersembunyi di sekitar sini,” Liarra menatapnya. Dia kembali duduk di pinggir sungai. Berjauhan adalah salah satu upaya mereka untuk tidak bertindak terlalu ‘berani’.

“Ya, aku mendengarnya,” Rehan mengangguk. Kemuraman langsung menyelimuti mereka. “Tapi jangan khawatir, pasukan komandan Achel berada di sekitar sini dan mereka masih menyisir sekitar wilayah ini untuk menemukan perampok-perampok itu.”

“Aku harap mereka cepat ditemukan,” Liarra mendesah pelan. “Kudengar, mereka orang-orang kejam dan tidak punya hati. Membunuh dan melakukan apa saja demi kepuasan.”

Rumor yang beredar mengatakan perampok-perampok ini adalah orang-orang yang tidak mengenal kata ampun. Apa yang ada di depan akan diterabas dan kepuasan adalah tujuan mereka. Orang-orang itu tak sekedar menginginkan harta dan makanan, tujuan mereka adalah kesenangan. Mereka membunuh dan merampok untuk menyenangkan diri.

“Orang-orang seperti itu menakutkan, Han,” Liarra berkomentar lagi. “Melakukan apa saja demi kepuasaan dan kesenangan. Apa pun akan dihalalkan demi ego mereka yang tidak ada habisnya.”

Rehan mencoba untuk tersenyum. “Kemarilah,” ia mengulurkan tangannya pada Liarra.

Gadis itu bangkit dan meraih uluran tangan Rehan. Lelaki itu lalu menariknya dalam pelukannya.

“Mereka tidak akan sampai kemari,” bisiknya. “Tenang saja.”

“Aku harap juga begitu,” gumam Liarra.

Mereka kembali saling menatap, kemudian berciuman.

Sayang, harapan tinggal harapan. Malamnya... perampok-perampok itu datang ke Prussel. Mereka membawa kematian dan kesengsaraan. Dan Rehan masih ingat bagaimana tangan-tangan menjijikkan para perampok berusaha menggapai tubuh kekasihnya.

***

Rehan berdiri di depan gundukan panjang yang tertutup rumput liar. Tampak bunga-bunga oiklis tumbuh di sela-sela rerumputan, memberi warna yang menarik yaitu ungu terang dan kuning muda di antara hijaunya rumput. Siapa pun yang melihat gundukan itu pasti akan mengiranya sebagai gundukan biasa bila tidak menyadari sebuah papan kayu yang menancap di satu sisi kuburan.

Air mata Rehan kembali meleleh ketika menatap makam itu. Di sini, terbaring jasad-jasad penduduk desa yang tewas terbunuh pada malam perampokan. Salah satunya adalah Liarra.

Kesedihan, amarah, kebencian, teraduk menjadi satu dalam hati Rehan. Mendadak kakinya melemas dan tubuhnya tak bertenaga. Lelaki itu jatuh berlutut di depan nisan sambil menangis tersedu-sedan. Setiap tahun, pada bulan di mana desanya dibantai, ia selalu menyambangi makam ini untuk mendoakan orang-orang yang ia kasihi. Namun, selalu, ia tak bisa menghalau rasa sedih yang mencengkram benaknya selama berada di sini.

Mengingat Liarra ada di dalam gundukan ini membuat perasaan Rehan hancur. Malam perampokan itu..., Liarra tewas terbunuh. Dia melawan perampok-perampok yang mencoba menodainya dan berakhir dengan kepala terpenggal. Rehan menyaksikan sendiri peristiwa itu. Saat kekacauan terjadi, Rehan mencoba menyelamatkan keluarganya dan keluarga Liarra. Namun, apa daya, tak ada satu pun keluarga Liarra yang selamat. Semuanya tewas terbunuh. Rehan sendiri dipaksa untuk melihat Liarra dilecehkan, tetapi sebelum itu terjadi, salah satu perampok sudah terlanjur marah pada hinaan kekasihnya kemudian memenggal kepalanya di depan mata Rehan.

Hanya sedikit yang selamat pada malam mengerikan itu. Keluarga Rehan sendiri selamat. Mereka akhirnya mengungsi ke Oram dan tinggal di sana sampai sekarang.

“Liarra,” ucapnya di sela-sela tangis. “Liarra...”

Rehan tersedu-sedan di depan makam, sedangkan June hanya diam menyaksikan sikap majikannya. Kuda itu tak mengerti apa yang dilakukan Rehan, tetapi dia merasakan kesedihan majikannya. Hewan itu menunduk hanya untuk menggosokkan moncongnya ke bahu Rehan.

Angin menggerakkan dedaunan hutan. Deretan makam-makam di pemakaman Prussel membisu menyaksikan tangisan Rehan. Sudah hampir 10 tahun kejadian itu lewat, tetapi sampai sekarang lelaki itu masih mengingat adegan demi adegan mengenaskan pada waktu itu dengan baik.



note: Cerpen ini saya buat pada bulan Desember 2014. Saya buat berdasarkan tema yang ditetapkan pada Cerbul Kastil Fantasi, yang bertema kisah cinta remaja, yang pada akhirnya saya bikin rada tragis sih. Silakan membacanya. :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar