Riverblue
masih seindah dulu. Airnya begitu jernih hingga dasarnya terlihat. Bebatuan
berwarna kelabu berserakan hampir di sepanjang sungai. Ada juga batu-batu besar
yang setengah tenggelam di tengah-tengah sungai yang lebar. Rehan memandang
keindahan riverblue dalam diam. Sudah
hampir setengah hari ia di sana dan tak terlihat tanda-tanda akan beranjak dari
tepi sungai, padahal kudanya sudah selesai merumput dan beristirahat.
Kurang
dari 5000 langkah ia akan sampai di Prussel, desanya dulu. Namun, entah kenapa,
rasanya berat sekali untuk pergi ke sana. Kenangan-kenangan semasa tinggal di
desa saling tumpang tindih, berebut untuk naik ke permukaan dan membuat hatinya
sedih. Rehan menghela napas. Pria berambut hitam pendek itu lalu merebahkan
tubuhnya di atas rerumputan yang lembut. Matanya menerawang ke langit.
Kemudian, ia pun memejamkan mata.
Suasana
tenang, nyaris sepi. Hampir tidak ada suara apa pun di sini kecuali suara
aliran air dan serangga. Angin berembus lembut dari arah utara, membawa bau
segar dan dingin. Tempat ini berada di kaki gunung, dan meski hari sudah siang,
cuaca di sini masih dingin. Dengan langit yang berawan, itu membuat keadaan
semakin bertambah lembap.
Rehan
ingat, semasa kecil dulu, ia sering menghabiskan waktu di tepi sungai bersama
kawan-kawannya, entah itu mencari rumput, memancing, atau mandi di sungai. Yah,
sekalipun sudah diingatkan untuk tidak sembarangan berenang di riverblue sungai ini termasuk berarus deras,
mereka tidak mengindahkan peringatan itu. Gara-gara kebandelan mereka, Rehan
harus kehilangan 5 kawannya di waktu yang berbeda.
Rasa
bersalah mendadak mencubit hati Rehan. Riverblue
telah menelan begitu banyak korban, terutama dari kalangan anak-anak,
tetapi ia dan teman-temannya tetap tidak kapok dan masih nekat berenang di
sungai tanpa pengawasan orangtua. Hal itu membuat Liarra tetangganya, jadi kesal dan sering
mengadukan mereka pada Tetua desa kalau ia dan kawan-kawannya ketahuan bermain
di sungai.
Sudut
bibir Rehan tertarik ke atas, membentuk senyuman kecil. Liarra seumuran
dengannya. Gadis itu kurus dan rambutnya senantiasa dikepang. Kalau sedang
kesal, dia selalu berkacak pinggang dan melotot ke arahnya sambil memajukan
bibir.
“Kalau kalian tidak segera naik ke atas, aku akan
melapor pada Tetua Desa, supaya kalian dihukum!” seru Liarra ketika melihat
Rehan dan kawan-kawannya asyik bermain air di pinggir sungai. Usia mereka pada
waktu itu sama-sama 8 tahun. Matanya bulat dan jernih seperti kelereng. Air
mukanya kelihatan galak, walau sedikit menggelikan.
"Kalau kau melaporkan kami, aku akan melaporkan pada
Ibumu kalau kemarin kau mencuri pie ayam yang dia siapkan untuk dibagikan ke perayaan!”
Rehan balas berseru.
Ia tanpa sengaja memergoki Liarra mengambil beberapa
potong pie ayam dari dapur dan pergi ke ladang untuk menyantap semua makanan
itu sendirian. Yah, pie buatan Ibu Liarra memang sangat enak, semua orang tahu
itu dan Rehan bisa memahami kalau gadis itu tidak bisa menahan diri untuk tidak
mengambil pie-nya.
Liarra semakin melotot. Kali ini pipinya bersemu
merah, bukan karena marah tapi malu sekaligus takut. Kemudian, tanpa
berkata-kata lagi, gadis kecil itu berbalik dan bergegas kembali ke desa,
diiringi gelak tawa Rehan dan kawan-kawannya.
Rehan
membuka mata. Senyumnya kian lebar mengingat betapa malunya Liarra saat itu. Liarra..., lelaki berjubah gelap itu
berdiri dari tempatnya merebahkan diri. Ia mengambil tali kekang kudanya yang
terikat di salah satu pohon.
“Ayo,
kita pergi, June,” ucapnya pada si kuda. Mengingat Liarra membuat Rehan berani.
***
Papan
nama Prussel telah koyak dan lapuk dimakan usia serta cuaca. Kayunya tercuil di
sana-sini, bahkan huruf yang tersisa pada papan kayu tersebut hanyalah ‘russ’. Noda-noda
hitam mengotori tiang-tiang kayu penyangga papan nama Prussel. Semak belukar,
rumput-rumput liar tumbuh subur di setiap penjuru desa. Tidak ada kawasan di
desa ini yang terawat dan rapi. Bangkai-bangkai rumah menyembul di antara
ilalang-ilalang tinggi.
Rehan
memaksakan diri untuk memasuki desa. Kenangan-kenangan itu kembali datang
menyapa, memperlihatkan kilasan kejadian memuakkan yang paling dibenci Rehan
seumur hidupnya. Pemuda itu diam sejenak untuk mengambil napas. Dalam beberapa
langkah saja, ia sudah merasa sesak dan tertekan. Matanya panas dan tanpa
diinginkan air matanya mengalir membasahi pipi. Rehan tak sanggup menahan
tangisnya. Meski bibirnya terkatup rapat, pemandangan di hadapannya membuat
hatinya sakit dan tubuhnya menggigil. Ada begitu banyak kenangan yang mencoba
mencapai pikirannya, dari yang mulai membahagiakan sampai menyakitkan.
“Rehan sialan!! Kenapa tidak bilang kau sudah masuk
rumah?!!”
Rehan terpaku sejenak ketika melihat Liarra tidak
berpakaian lengkap di dalam rumah. Pemuda itu melongo dan bantingan di pintu
kamar Liarra langsung membuat bibirnya terkatup. Ia menatap pintu kamar gadis
itu dan sempat mendengar gadis itu mengomel-ngomel sambil mengumpat ke
sana-kemari.
Sementara itu, Ibu Liarra tertawa melihat putrinya
mengamuk. “Makanya, sudah Ibu bilang berulang kali, walau di rumah, tetaplah
berpakaian lengkap. Kalau ada tamu yang datang sewaktu-waktu, kau kan tidak
perlu malu seperti ini.”
Muka Rehan memerah. Dua tangannya masih memegang
pinggiran keranjang berisi tumpukan kentang dan wortel yang nantinya akan
dimasak Ibu Liarra. Ia baru saja dari ladang dan ibunya menyuruhnya mengantar
sekeranjang kentang dan wortel ini untuk keluarga Liarra.
“Bibi, di mana aku bisa menaruh keranjang ini?” tanya
Rehan.
“Taruh saja di sana,” Ibu Liarra menunjuk ke salah
satu sudut ruang keluarga. “Supaya nanti kami lebih mudah mengambilnya.”
Rehan buru-buru meletakkan keranjang itu di sana
kemudian pamit pergi. Sepanjang perjalanan menuju rumah, pemuda itu masih
teringat sosok Liarra tadi. Mukanya memerah dan kalau sampai Liarra tahu apa
yang ada di dalam pikirannya sekarang, pasti gadis berkepang satu itu akan
murka dan menyebutnya otak mesum.
June
mendengus, membuyarkan lamunan Rehan. Kuda cokelat itu mendorongkan kepalanya
ke bahu Rehan, memberinya isyarat untuk maju.
“Aku
tidak bisa, June,” katanya lirih. “Aku tidak bisa melangkah lebih jauh lagi.”
Bahunya berguncang keras. Lelaki itu tertunduk menahan tangisnya yang semakin
kencang.
June
meringkik. Dia berjalan lebih dulu ke depan majikannya dan menarik-narik tali
kekang yang digenggam Rehan. Sikapnya seolah mengatakan, ‘ayo jalan lagi,
supaya kita cepat pergi dari sini’.
Rehan
kembali melangkah meski tersendat-sendat. Tiap 2 atau 3 langkah, ia berhenti
untuk menghapus air mata. Sikapnya seperti anak kecil berumur 7 tahun yang
mendapat sabetan rotan karena ketahuan mencuri makanan. Kalau Liarra melihat
keadaannya saat ini, gadis itu pasti akan tertawa keras. Rehan menahan diri
supaya tidak menangis lagi. Ia menghapus sisa-sisa air mata yang membasahi
pipi. Lelaki itu memandang ke depan dengan tegar, berusaha untuk terlihat kuat
meski yang nampak sebaliknya.
Lelaki
itu meninggalkan desanya hanya untuk memasuki kawasan kebun serta ladang
terbengkalai. Sama seperti area perkampungan yang lebih mirip tempat berhantu,
area lapang yang dulunya ladang atau kebun ini sekarang terlihat seperti hutan
ilalang. Tak ada yang tersisa di tempat ini.
Rehan
berhenti sejenak. Tatapannya tertuju ke suatu sudut yang tertutup ilalang.
Dulunya, ladang tempatnya bekerja ada di balik ilalang-ilalang itu. Jika waktu
makan siang tiba, ia dan penduduk desa lain akan berduyun-duyun kembali ke
rumah. Pada saat itu, biasanya ia bebas bicara dengan Liarra.
“Sudah seminggu kau tidak bicara padaku,” ujar Rehan
pada Liarra yang berjalan di depannya.
Gadis itu diam tak menanggapi.
“Kau marah padaku?”
Liarra masih tak membalas.
“Tapi, itu, kan bukan salahku. Aku masuk waktu
kau...,” kata-kata Rehan terhenti waktu Liarra menoleh dan melotot ke arahnya.
Pemuda itu nyengir. “Jujur..., saat melihatmu waktu
itu dan saat ini, rasanya kau seperti orang yang berbeda. Kalau waktu itu kau
kelihatan..., ehm...’menarik’....,” ucapannya membuat Liarra semakin melotot,
“Kalau sekarang kau kelihatan seperti hantu,” Rehan nyengir.
“Kau ini menyebalkan, Han!” Liarra membuang tatapannya
ke depan.
Rehan terkekeh. “Sore nanti, kutunggu di Riveril.”
Sekarang,
Rehan menuju tempat itu.
***
Riveril
merupakan sebutan anak sungai riverblue
yang mengalir ke arah timur, membelah kawasan perkebunan dengan area pemakaman.
Anak sungai ini tidak terlalu lebar dan dangkal. Jarak antara satu sisi sungai
dengan sisi lainnya cuma 10 langkah. Ada jembatan kayu kecil yang menghubungkan
Prussel ke seberang riveril. Sebelum
mencapai jembatan, Rehan berbelok ke kanan. Ia bersama June berjalan menyusuri
tepian sungai yang bisa dilalui oleh dua orang sekaligus. Kemudian, saat sampai
di sebuah pohon yang tumbuh terlalu ke dekat dengan sungai, lelaki itu pun
berhenti.
Sorot
mata Rehan semakin sayu. Rasa sakit kembali memenuhi hatinya. Di sini... terakhir
kalinya ia melihat Liarra.
“Kalau meminta bertemu bisa tidak, di tempat yang
lebih baik?” Liarra mengomel ketika Rehan sampai di sana. “Ini sudah sore,
dekat makam, dan....” kata-katanya terhenti karena tiba-tiba Rehan menunduk dan
mencium bibirnya.
Gadis itu sama sekali tidak melawan ketika pelan-pelan
ciuman Rehan semakin dalam dan kuat.
“Kukira di sini tempat paling aman untuk kita
bertemu,” Rehan sedikit terengah ketika melepaskan bibirnya dari bibir Liarra.
Ia menjauh dari gadis itu dan mendapati mukanya memerah. Seketika, seringai
iseng muncul di wajah Rehan. Ini bukan pertama kalinya ia mencium Liarra dan
gadis itu selalu malu sehabis mereka berciuman. “Lain kali, aku akan
sering-sering menciummu supaya kau tidak mengomeliku,” ujarnya usil.
Liarra melotot memandangnya. “Jangan coba-coba, ya.
Aku...,” kata-katanya kembali terhenti karena Rehan menciumnya lagi. Kali ini
bukan hanya bibir Rehan yang menyentuh bibirnya, tangan lelaki itupun bergerak
untuk memeluknya.
“Han...!!” Liarra mendorong lelaki itu, berusaha
mengambil napas karena Rehan terlalu lama dan.... berhasrat menciumnya. “Jangan
lakukan itu lagi!” dia mendelik marah. Untung pengendalian dirinya masih
bekerja, kalau tidak, sewaktu Rehan mulai terpengaruh dengan hasratnya pasti
dirinya akan ikut hanyut.
Rehan tertawa tanpa beban. Ia lalu menjauh dari Liarra
dan duduk di atas batang pohon yang menjulur ke arah sungai. Batang pohon itu
melintang di tepi sungai dan posisinya cukup rendah, sehingga bisa diduduki
siapa saja.
“Apa kau sudah dengar gosip, perampok-perampok dari
kota sebelah bersembunyi di sekitar sini,” Liarra menatapnya. Dia kembali duduk
di pinggir sungai. Berjauhan adalah salah satu upaya mereka untuk tidak
bertindak terlalu ‘berani’.
“Ya, aku mendengarnya,” Rehan mengangguk. Kemuraman
langsung menyelimuti mereka. “Tapi jangan khawatir, pasukan komandan Achel
berada di sekitar sini dan mereka masih menyisir sekitar wilayah ini untuk
menemukan perampok-perampok itu.”
“Aku harap mereka cepat ditemukan,” Liarra mendesah
pelan. “Kudengar, mereka orang-orang kejam dan tidak punya hati. Membunuh dan
melakukan apa saja demi kepuasan.”
Rumor yang beredar mengatakan perampok-perampok ini
adalah orang-orang yang tidak mengenal kata ampun. Apa yang ada di depan akan
diterabas dan kepuasan adalah tujuan mereka. Orang-orang itu tak sekedar
menginginkan harta dan makanan, tujuan mereka adalah kesenangan. Mereka
membunuh dan merampok untuk menyenangkan diri.
“Orang-orang seperti itu menakutkan, Han,” Liarra
berkomentar lagi. “Melakukan apa saja demi kepuasaan dan kesenangan. Apa pun
akan dihalalkan demi ego mereka yang tidak ada habisnya.”
Rehan mencoba untuk tersenyum. “Kemarilah,” ia
mengulurkan tangannya pada Liarra.
Gadis itu bangkit dan meraih uluran tangan Rehan.
Lelaki itu lalu menariknya dalam pelukannya.
“Mereka tidak akan sampai kemari,” bisiknya. “Tenang
saja.”
“Aku harap juga begitu,” gumam Liarra.
Mereka kembali saling menatap, kemudian berciuman.
Sayang,
harapan tinggal harapan. Malamnya... perampok-perampok itu datang ke Prussel.
Mereka membawa kematian dan kesengsaraan. Dan Rehan masih ingat bagaimana
tangan-tangan menjijikkan para perampok berusaha menggapai tubuh kekasihnya.
***
Rehan
berdiri di depan gundukan panjang yang tertutup rumput liar. Tampak bunga-bunga
oiklis tumbuh di sela-sela
rerumputan, memberi warna yang menarik yaitu ungu terang dan kuning muda di
antara hijaunya rumput. Siapa pun yang melihat gundukan itu pasti akan
mengiranya sebagai gundukan biasa bila tidak menyadari sebuah papan kayu yang
menancap di satu sisi kuburan.
Air
mata Rehan kembali meleleh ketika menatap makam itu. Di sini, terbaring
jasad-jasad penduduk desa yang tewas terbunuh pada malam perampokan. Salah
satunya adalah Liarra.
Kesedihan,
amarah, kebencian, teraduk menjadi satu dalam hati Rehan. Mendadak kakinya melemas
dan tubuhnya tak bertenaga. Lelaki itu jatuh berlutut di depan nisan sambil
menangis tersedu-sedan. Setiap tahun, pada bulan di mana desanya dibantai, ia
selalu menyambangi makam ini untuk mendoakan orang-orang yang ia kasihi. Namun,
selalu, ia tak bisa menghalau rasa sedih yang mencengkram benaknya selama
berada di sini.
Mengingat
Liarra ada di dalam gundukan ini membuat perasaan Rehan hancur. Malam
perampokan itu..., Liarra tewas terbunuh. Dia melawan perampok-perampok yang
mencoba menodainya dan berakhir dengan kepala terpenggal. Rehan menyaksikan sendiri
peristiwa itu. Saat kekacauan terjadi, Rehan mencoba menyelamatkan keluarganya
dan keluarga Liarra. Namun, apa daya, tak ada satu pun keluarga Liarra yang
selamat. Semuanya tewas terbunuh. Rehan sendiri dipaksa untuk melihat Liarra
dilecehkan, tetapi sebelum itu terjadi, salah satu perampok sudah terlanjur
marah pada hinaan kekasihnya kemudian memenggal kepalanya di depan mata Rehan.
Hanya
sedikit yang selamat pada malam mengerikan itu. Keluarga Rehan sendiri selamat.
Mereka akhirnya mengungsi ke Oram dan tinggal di sana sampai sekarang.
“Liarra,”
ucapnya di sela-sela tangis. “Liarra...”
Rehan
tersedu-sedan di depan makam, sedangkan June hanya diam menyaksikan sikap
majikannya. Kuda itu tak mengerti apa yang dilakukan Rehan, tetapi dia
merasakan kesedihan majikannya. Hewan itu menunduk hanya untuk menggosokkan
moncongnya ke bahu Rehan.
Angin
menggerakkan dedaunan hutan. Deretan makam-makam di pemakaman Prussel membisu
menyaksikan tangisan Rehan. Sudah hampir 10 tahun kejadian itu lewat, tetapi
sampai sekarang lelaki itu masih mengingat adegan demi adegan mengenaskan pada
waktu itu dengan baik.
note: Cerpen ini saya buat pada bulan Desember 2014. Saya buat berdasarkan tema yang ditetapkan pada Cerbul Kastil Fantasi, yang bertema kisah cinta remaja, yang pada akhirnya saya bikin rada tragis sih. Silakan membacanya. :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar