Orang-orang biasa berpikir, bahwa apa yang terbaik untuk dirinya, juga terbaik untuk orang lain. Apa yang menurutnya bagus, juga bagus untuk orang lain. Ketika ada orang yang tidak sependapat dengan pemikirannya, ada kecenderungan bagi mereka untuk memaksakan pendapat mereka. Walau..., tak sedikit juga yang abai dengan perbedaan pendapat dan mengganggapnya hal biasa.
Begitu pula ketika saya memelihara kucing. Yang ribut dan komentar bukan saya, tapi orang-orang di sekitar saya. Kadang saya agak geli sekaligus miris. Sering saya ditanya mengenai jenis kucing yang saya pelihara. Begitu saya menjawab kalau saya memelihara kucing kampung, mereka lantas terheran-heran dan kembali bertanya, 'Kenapa nggak memelihara persia?', 'Kenapa bukan anggora?', dan tentu saja saya balas menjawab, "Saya dapat kucing itu gratisan kok, ya, saya terima apa adanya."
Mereka tambah heran lagi karena saya lempeng aja memelihara kucing kampung. Saya tahu apa yang ada di dalam pikiran mereka, anak-anak kucing kampung sudah jelas tidak akan laku dijual, bahkan dikasih ke orang saja belum tentu ada orang yang mau melihara. Kucing kampung selalu identik dengan sampah, liar, garong, nakal, 'penyakitan', kotor, dan segala macam hal-hal buruk lainnya. Padahal, kalau kita mau merenung lebih dalam, semua kucing atau semua binatang, memiliki potensi seperti itu bila dia diliarkan. Jika persia dan anggora kemungkinan bisa memberikan keuntungan, memelihara kucing kampung justru membutuhkan ketulusan. Seperti apa yang saya bilang tadi, kucing ini erat dengan stigma negatif dan jarang ada yang mau memeliharanya dengan baik. Dipelihara pun mungkin dibiarkan nyari makan sendiri dari sampah yang ada. (Si Mimi pernah pamer bawa tulang paha yang dia dapet dari sampah lho. Dibawa pulang ke rumah dan dipamerin di depanku ama sepupuku. Ya jelas aku langsung jejeritan ngerebut tulang yang dia bawa dan kubuang lagi. Salah sendiri pamer ke dalam rumah. --", habis itu kukasih makanannya).