Rabu, 08 April 2015

Tiket Ke Surga

     Seorang wanita tuna susila ditemukan tewas di gang sempit yang ada di antara dua kompleks ruko. Tidak ada tanda kekerasan di tubuhnya, tapi matanya membelalak, seolah baru saja melihat sesuatu yang menakutkan. Perkiraan kematiannya antara jam 1 hingga jam 3 pagi, sewaktu keadaan di sekitar tempat tersebut sedang sepi-sepinya.

Sekarang, polisi masih memeriksa tempat kejadian perkara dan mencatat keanehan apa pun di sekitar sana. Orang-orang berkerumun di pinggir garis polisi, ingin tahu apa yang terjadi. Beberapa berkasak-kusuk, membicarakan korban pembunuhan yang kini telah ditandu ke ambulans. Rasa was-was dan khawatir terlihat di wajah orang-orang yang tengah menonton itu. Perhatian mereka tertuju pada si mayat yang sudah masuk ke kantong jenazah dan dibawa ke dalam ambulans. Satu-dua orang terlihat geleng-geleng kepala.

“Ini pembunuhan kelima dalam sebulan terakhir,” gumamnya yang disambut komentar bernada khawatir dari orang di sebelahnya.

Akhir-akhir ini pembunuhan marak terjadi, terutama di kawasan rawan kejahatan serta lokalisasi. Dan yang paling mengherankan, korban yang tewas adalah si pelaku kejahatan sendiri. Ada dugaan kalau mereka dibunuh oleh musuh mereka. Namun, dari sebagian besar korban yang telah diautopsi, tubuh mereka benar-benar bersih dari kekerasaan, seolah... serangan jantung-lah yang menyebabkan mereka mati.


***

“Hanya 3 bulan?” pemuda itu terlihat kecewa. Dahinya berkerut hingga membuat alisnya nyaris bertaut. Matanya memandang nanar pria berwajah rupawan yang menjadi lawan bicaranya. “Apa tidak bisa ditambah?” tanyanya, berusaha menawar hasil pekerjaannya.

Pria berambut hitam pendek dan berkulit pucat itu mendecakkan lidah beberapa kali sambil menggeleng. “Aturan tetap aturan. Kroco semacam itu harganya murah. Aku sudah berbaik hati mencatat 3 bulan pengampunan untukmu. Apa kau mau harganya kuturunkan jadi 1 bulan?”

Pemuda itu mendesah, tak bisa lagi berkata-kata. “Ya, ya. Kuterima 3 bulan itu,” ujarnya.

“Begitu kan lebih baik,” pria berkaus polo dan bercelana kain itu memberikan cap pada sebuah buku tebal yang ada di tangannya. “Kalau ingin mendapat pengampunan yang lebih besar, kau harus mendapat buruan yang lebih berharga juga.” Buku dan stempel yang ada di tangan pria itu hilang entah ke mana.

“Sulit mendapat buruan berharga,” pemuda itu menghela napas sambil memasukkan kedua tangannya ke saku jaket. Tatapannya mengitari seisi ruangan berukuran 6 x 6 yang sudah berulang-kali didatanginya ini. Lama-lama memandang sosok berpakaian serba putih di hadapannya membuat matanya sakit. Namun, mengalihkan pandangan ke arah lain pun tidak banyak membantu mengurangi sakit matanya. Ruangan ini dicat serba putih dan perabotannya juga didominasi warna putih.

“Kukira, aku akan mendapat pengampunan setidaknya 6 bulan karena membunuh si mucikari. Ternyata harganya sama seperti pelacur lainnya, ya.” Pandangan pemuda itu kemudian tertunduk ke lantai, yang kebersihannya sampai membuatnya bisa berkaca. Ia bergidik ketika melihat hanya ada bayangannya di sana. Pria di hadapannya sama sekali tidak memiliki bayangan.

“Mereka tidak terlalu berharga,” pria itu mengibaskan tangan. “Apa yang mereka perbuat hanya berdampak pada diri mereka sendiri. Kalau mau pengampunan lebih besar, bidik yang punya pengaruh pada lingkungan.”

Pemuda itu kembali menatap pria itu. Salah satu alisnya terangkat. “Pimpinan genk narkoba pun cuma kau beri 4 bulan pengampunan,” gerutunya. “Aku butuh lebih dari itu! Aku menginginkan setidaknya 1 atau 2 tahun pengampunan!”

“Manusia,” keluh si pria sambil memutar mata. “Tidak sabaran, cepat marah, dan terburu-buru. Itu sebabnya kau mudah sekali terjebak dosa. Bukankah aku sudah bilang, kendalikan emosimu. Hati-hati dengan kemarahanmu. Sebanyak apa pun kau mengumpulkan cap pengampunan, itu semua akan sia-sia kalau kepribadianmu masih buruk.”

Pemuda itu terdiam, tak bisa mengelak dari kenyataan yang dituduhkan pria itu.

“Ini, kuberi kau kemudahan,” pria itu menyodorkan sebuah foto yang muncul begitu saja di tangannya. “Bunuh dia dan kau akan mendapat 5 tahun pengampunan.”

Mata pemuda itu berbinar mendengar ucapannya.

***

Gadis itu tidak terlihat aneh atau pun ‘bermasalah’. Cara berpakaiannya sopan, yang mana dia selalu mengenakan atasan maupun bawahan yang panjang. Tidak pernah sekalipun dia memakai pakaian yang tidak senonoh. Dandanannya pun biasa saja, bahkan dia sama sekali tak memakai make-up. Selama beberapa minggu mengintainya, ia mendapati kalau pergaulan gadis itu pun dalam lingkungan yang baik. Interaksinya dengan lawan jenis sama sekali tidak berlebihan. Dia sopan, tutur katanya bagus dan nyaris tak bercela.

Namun, biasanya di balik kesempurnaan, ada banyak kekurangan yang ditutupi. Ia tahu, gadis itu sering terlibat pertengkaran dengan orangtuanya di rumah. Dalam organisasi, ia yang paling egois dan suka mementingkan pendapat sendiri. Kadang-kadang, kata-katanya pun sering menyakiti pihak lain.

“Incaran macam apa ini?” keluh pemuda itu sambil mengawasi si gadis yang mampir ke salah satu minimarket di sisi jalan. Ia terpaksa pura-pura berteduh di bawah teras salah satu ruko yang tutup di kawasan pertokoan puat kota. Gadis itu baru saja pulang sekolah dan seperti beberapa hari yang lalu, ia pun menguntit ke mana pun gadis itu pergi.

Dari semua buruan yang pernah ia kejar, gadis itu sama sekali tidak terlihat menantang. Dia justru terlihat paling ‘normal’ dan kalem. Aneh..., apa mungkin si malaikat salah memberi buruan? Ah, tidak mungkin. Malaikat tidak pernah salah. Pasti ada sesuatu pada diri gadis itu yang membuatnya harus diburu dan bernilai paling tinggi di antara yang lain.

Pemuda berambut hitam pendek dan berkulit putih pucat itu bediri tegak saat si gadis sudah selesai membeli barang dari minimarket. Ketika jarak antara dirinya dan gadis itu dirasa cukup aman, ia pun kembali membuntutinya. Ia harus membunuh gadis itu. Ia harus mendapatkan pengampunan selama 5 tahun!

***

Kesempatan kedua yang diberikan Tuhan sama sekali tidak boleh ia sia-siakan. Hidup yang ia jalani sekarang benar-benar harus didekasikan sepenuhnya pada Tuhan.  Membunuh mereka yang jahat dan menyelamatkan manusia lain dari kejahatan adalah salah satu upaya penebusan atas segala dosa-dosa yang pernah ia kerjakan sebelumnya.

Kehidupannya sebelum diselamatkan sang malaikat adalah kehidupan yang kotor dan penuh manipulasi. Ia terlibat dalam hal-hal jahat yang membuatnya dibenci oleh sesama. Badannya rusak oleh obat-obatan, akalnya tenggelam dalam kesenangan, serta hatinya mati karena keserakahan. Dulu, apa pun yang ia lakukan didasarkan untuk dunia. Tak pernah sekali pun ia memikirkan orang lain, apalagi penderitaan mereka. Menyingkirkan mereka yang jadi musuh sudah biasa, apalagi menindas orang-orang kecil tak berduit. Tidak ada yang bisa dibanggakan pada masa lalunya, meski dirinya ditakuti dan disegani karena caranya yang kejam.

Namun, semua berubah setelah kecelakaan yang nyaris merenggut nyawanya. Seorang malaikat datang padanya, menuntunnya kembali ke jalan yang benar. Ia diijinkan untuk mengharap surga apabila menjalankan permintaan dari sang malaikat. Salah satunya adalah membunuhi orang-orang jahat. Mereka yang tak bermoral, tak berperasaan seperti dirinya dulu harus dilenyapkan, supaya tercipta kebaikan di muka bumi. Jika dia membunuh orang-orang jahat itu, dosa-dosanya dalam kurun waktu tertentu akan dihapus. Dan kini, dosanya yang sebesar 70 tahun usia telah berkurang mencapai 10 tahun usia karena tugas yang ia jalani.

Ia tak sabar menghapus semua dosa-dosanya yang tersisa. Ia butuh target-target besar untuk melenyapkan sisa dosanya.

***

Gadis itu hampir mencapai kompleks perumahan di mana dia tinggal. Sebelum itu, dia harus melewati sebuah taman kompleks dan berbelok lagi untuk sampai di pos satpam. Di sinilah tempat yang tepat untuk menjalankan eksekusi. Pemuda itu bergerak cepat tanpa suara dan langsung menyambar gadis itu. Si gadis hendak menjerit tetapi mulutnya sudah dibekap, sehingga tak terdengar apa pun selain gumaman-gumaman aneh.

Keadaan di sekitar taman sangat sepi saat siang. Rumah-rumah besar di sekitar taman pun tertutup rapat, tanpa terlihat seorang pun berminat hendak keluar. Setelah berminggu-minggu mengawasi dan menyurvei keadaan di sekitar tempat tinggal gadis ini, ia jadi hafal kapan waktu-waktu tempat ini ramai maupun sepi. Pemuda itu menyeret si gadis ke dalam taman dan membawanya ke sudut taman yang tertutup pohon serta semak-semak. Namun, tanpa diduga, gadis itu melawan.

Dia menginjak kaki pemuda itu dan sikunya menyodok rusuk. Pemuda itu kehilangan kontrol sesaat karena terkejut dan merasa sakit. Namun, sebelum gadis itu terlalu jauh dari cengkramannya dan hendak berteriak, ia langsung menarik gadis itu dan membantingnya ke tanah. Dalam sepersekian detik, ia menindih dan mengunci tubuhnya. Satu tangannya masih membekap mulut gadis itu.

“Sebenarnya aku tidak suka kasar pada wanita, tapi... kau sedikit menjengkelkan,” pemuda itu kembali menggerutu. “Diam dan mari kita selesaikan baik-baik.”

Gadis itu menyahut, entah mengatakan apa karena kata-katanya tidak jelas terdengar. Tentu saja, bagaimana kalimatnya bisa terdengar jelas kalau mulutnya ditutup tangan seperti itu? Air mata menggenang di pelupuk gadis itu. Dia benar-benar terlihat ketakutan saat pemuda itu mendekatkan wajah. Pikiran dan benaknya kacau seketika.

“Sekarang, matilah dengan tenang dan damai. Kematianmu membawa kedamaian bagi semua umat,” iris mata kecokelatan pemuda itu berubah menjadi merah darah.

Seketika, gadis itu menutup matanya dan memalingkan pandangannya.

“Hei, ayo buka mata! Jangan tutup matamu!” pemuda itu memaksanya untuk buka mata, tapi gadis itu tidak mau membukanya matanya. Dia kembali bicara tak jelas, yang makin menjengkelkan si pemuda. “Apa sih yang sebenarnya ingin kau katakan? Jangan harap aku mau membuka bekapanku.” Geramnya. “Sekarang, buka mata! Aku butuh nyawamu!” ia berusaha membuat gadis itu membuka mata.

Gadis itu mendadak kembali liar. Dia memberontak dari kuncian si pemuda sampai akhirnya tanpa sengaja bekapan itu terlepas. Dalam momen singkat itu, si gadis pun memaki, “Dasar Hellde keparat!”

Dan kalimat itu sukses membuat si pemuda terpaku. Gadis itu... tahu?

***

Pemuda itu duduk terpekur di taman, sendirian dalam kegelapan malam. Hanya sinar bulan yang menemaninya di sana. Kebetulan, area ini pun sedang mati listrik, sehingga keadaan gelap gulita dan tak seorang pun menyadari keberadaannya di taman tersebut setelah keributan kecil yang terjadi siang tadi.

Kepalanya tertunduk tanpa daya dan matanya memandang kedua tangannya yang dikotori tanah. Mata dan pipinya basah oleh air mata. Bibirnya bergetar dan lagi-lagi air matanya mengalir. Kebodohan macam apa yang ia lakukan barusan? Betapa tololnya ia melepaskan gadis tadi karena mendengar makiannya yang singkat. Ia adalah seorang Hellde, seorang pelayan. Kenapa juga harus mendengar cerocosan gadis itu? Bisa jadi... dia hanya berbohong untuk mendapat keselamatan. Namun, saat melihat tanda di lengan kanannya, ia tak bisa berkutik. Tanda berbentuk seperti cap yang selalu menghiasi buku penebusan dosanya itu sama dengan tanda yang ia miliki. Bedanya, tanda di lengan gadis itu sudah disilang, tanda bahwa dia bukan lagi Hellde.

Pemuda itu mengigit bibir bawah. Ia meremas rambut pendeknya dengan gusar. Apa yang diceritakan gadis itu benar-benar membawa pengaruh besar pada mentalnya. Ia dan apa yang dijalaninya. Mengenai kebenaran dan kejahatan, semua tercampur aduk jadi satu hingga membuat pikirannya terdistraksi. Ia butuh jawaban yang lebih detail, tetapi ada rasa takut bercokol dalam hatinya. Ia takut, entah pada sang malaikat atau pada Tuhan.

“Gagal?” pertanyaan itu membuat kepalanya tersentak ke belakang.

Ia menengadah dan mendapati pria bersetelan putih itu berdiri di hadapannya dengan kedua tangan masuk ke saku celana. Seperti biasa, pria itu tampak menyilaukan, terutama dalam kegelapan seperti ini. Tubuhnya diselubungi semacam cahaya tipis yang membuatnya terkesan agung dan berwibawa.

“Bukannya kau ingin surga? Kenapa justru meloloskan gadis itu? Padahal dia bisa menghapus 5 tahun masa dosa-dosamu,” mata hitamnya memandang dingin si pemuda.

“Aku...,” pemuda itu merasa kelu untuk bicara. Ia tak berani menceritakan apa yang didengarnya dari gadis tersebut.

“Gadis itu menceritakan kalau dirinya dulu Hellde juga?” pertanyaan pria itu mengagetkannya.

“Bagaimana kau tahu?”

“Tentu saja aku tahu. Kau pikir aku tidak mengawasi tindak-tandukmu?” pria itu mencibir. “Gadis itu dulunya memang Hellde. Tapi dia berkhianat. Dia memilih kembali pada kesesatan, padahal Tuhan sudah menunjukinya jalan. Pada akhirnya, sekarang dia menjadi musuhmu, musuh kita.”

Pemuda itu ternganga. Berkhianat pada Tuhan?

“Kurasa gadis itu terlalu berat untukmu. Sepertinya, kau memang lebih cocok membunuh kroco-kroco di sekitar lokalisasi atau daerah rawan kejahatan,” lanjut pria itu sebelum pergi dari hadapannya.

Pemuda itu bengong, mencerna semua yang didengarnya barusan. Membunuh kroco memang mudah, tetapi bayaran yang ia terima tidak setimpal. Ia membutuhkan pengampunan yang panjang. Pengampunan yang bisa menghapus semua dosanya. Pengampunan?

Pemuda itu terdiam, perasaannya mulai goyah.

Apa pengampunan Tuhan sesulit itu? Pertanyaan gadis itu terngiang di benaknya.

***

Beberapa jam yang lalu...

Mereka berdiri berhadapan. Si pemuda tak lagi menindih atau pun mengunci si gadis, dan gadis itu sendiri memenuhi janjinya untuk tidak kabur setelah si pemuda melepasnya. Mereka saling melemparkan tatapan maut, yang bisa membuat orang biasa menciut ketakutan.

“Dia memperalatmu,” ujar gadis itu.

“Tidak mungkin! Dia penolongku!” si pemuda masih berkelit dari kenyataan yang baru saja disampaikan gadis itu.

“Penolongmu menuju neraka,” cibir gadis itu. “Dia iblis!”

Pemuda itu tertegun.

“Dia menipumu, supaya kau semakin tersesat,” katanya. “Kau pasti diminta membunuhi orang jahat, kan?” pertanyaannya tak dijawab, yang diasumsikan si gadis kalau itu benar. “Sekarang aku tanya padamu, bagaimana kau tahu kalau mereka jahat?” tanyanya.

Mata pemuda itu nyalang, memperlihatkan amarah. “Mereka melakukan sesuatu di luar aturan agama!”

“Lalu, karena mereka melanggar aturan, dengan begitu kau berhak membunuh mereka tanpa mengonfirmasinya?” tanyanya sinis. “Sejak kapan kau mengambil alih tugas malaikat maut?” lagi-lagi pertanyaannya membuat si pemuda bungkam. “Apa begitu mudah membuat nyawa orang lain melayang? Apa tindakanmu sendiri dibenarkan oleh agama?”

“Diam! Aku hanya menjalankan perintah!”

“Perintah Iblis,” tandas gadis itu. “Apa pengampunan Tuhan sesulit itu?”

Geraman pemuda itu sedikit berkurang.

“Apa Tuhan sekeji itu dengan memerintahkan makhluk-makhlukNya dibunuh tanpa alasan? Pernahkah kau berinteraksi dengan orang-orang yang kau bunuh sebelum aku dan menanyai mereka mengenai kejahatan yang mereka lakukan? Pernah kau tanya, apa mereka pernah berhasrat untuk berhenti melakukan maksiat?”

Pemuda itu melunak. Tidak, ia tidak pernah mencoba berinteraksi dengan mereka.

“Kau tahu, kenapa dia memintaku dijadikan target?”

Pemuda itu hanya memandangnya, tak tahu apa yang harus ia katakan.

“Itu karena aku sadar,” gadis itu menunjuk-nunjuk pelipisnya sendiri. “Aku sadar apa yang diperintahkannya salah. Aku sadar, apa yang diperintahkannya justru membawaku menjauhi Tuhan. Karena itu, aku memutuskan berhenti dan kembali ke jalan yang semestinya.”

“Jalan yang semestinya?” si pemuda mendengus. “Melawan Orangtua, bersikap egois dalam organisasi, dan mementingkan pendapat sendiri apa bisa dibilang ke jalan semestinya?” ejeknya.

Gadis itu menghela napas, memahami ke arah mana pemuda di hadapannya ingin menyerang argumennya. “Kau tahu kenapa aku melawan Orangtuaku? Karena mereka mencoba bertindak sesuatu yang tidak benar. Mereka ingin menyogok guru-guruku supaya nilai ujianku naik. Aku bodoh di beberapa mata pelajaran eksakta dan mereka ingin aku masuk ke jurusan eksak. Aku menolak penyogokan itu dan berusaha agar Orangtuaku menerima pilihanku di jurusan sosial. Kami bertengkar hebat dan Ayahku membodoh-bodohkan diriku. Mungkin kau sudah menyelidiki bagian itu.”

Si pemuda terpana, tak menyangka mendengar kejujuran ini.

“Tahu juga kenapa aku bersikap egois di organisasi? Semua kulakukan untuk mendisiplinkan anggota. Kebanyakan anggotaku bersikap malas dan suka menilap uang keanggotaan. Kalau aku tidak mengambil sikap dan membiarkan mereka, lama-lama organisasi akan mati. Aku berupaya melakukan penyelamatan,” lanjut gadis itu. “Dan terakhir, selama aku benar dengan pendapatku, maka aku akan mempertahankannya, kecuali aku salah. Aku akan mendengar pendapat orang lain.”

“Manusia mana mau bila pendapatnya disalahkan? Semua ingin dianggap benar,” cibir pemuda itu.

“Memangnya kau bukan manusia?” salah satu alis gadis itu terangkat. “Bukannya kau juga mau pendapatmu kuanggap benar?” pertanyaannya terdengar sedikit menyudutkan. “Selama tidak ada yang mau mendengarkan, jadinya hanyalah perdebatan sia-sia. Dan itu paling ‘dia’ sukai. Berdebat kemudian saling membenci, berakhir pada putusnya tali hubungan. Lebih jauh lagi, berkembang menjadi rasa dendam dan iri, kemudian diakhiri dengan perpecahan. Dia benar-benar menikmati setiap adu domba yang ada di dunia ini.”

Bibir pemuda itu terkatup.

“Sekarang, aku tanya padamu, apa Tuhan sesulit itu mengampuni seorang hamba? Tidak. Dia selalu memudahkan. Dia telah menetapkan aturan-aturan yang menjaga supaya kita tidak tersesat. Ada ketetapan-ketetapan yang harus kau ketahui sebelum membunuh orang dan itu tidak bisa didasarkan atas alasan karena dia jahat saja. Apa kau tahu, mungkin.... di dalam hati orang-orang yang kau bunuh itu sebenarnya mereka ingin bertaubat dan kembali pada Tuhan?”

Rahang pemuda itu mengencang. Sorot matanya memperlihatkan amarah. “Persetan dengan omonganmu!”

“Terserah kau mau mendengar atau tidak. Tapi kutegaskan, kau diperalat! Dan kuberitahu satu hal, dia ingin aku mati karena..., aku membantu ‘mereka’ yang tersesat supaya kembali ke jalan yang benar,” gadis itu menatapnya dingin. “Dan apa yang kulakukan tidak seperti apa yang kau lakukan! Tuhan Maha Pengampun, Tuhan Maha Mengasihi, cara-cara brutal yang kau pakai itu salah.”

***

Siapa yang diperalat, siapa yang memperalat?

Pemuda itu tertawa sumbang dalam kesendiriannya di taman kompleks. Ia hanya menginginkan pengampunan. Ia hanya menginginkan surga dan penerimaan Tuhan. Apa salah ia melakukan semua pembunuhan-pembunuhan ini? Bukannya, ia sudah melakukan sesuatu yang benar dengan menyingkirkan orang jahat?

‘Mungkin saja... di dalam hati orang-orang yang kau bunuh itu sebenarnya mereka ingin bertaubat dan kembali pada Tuhan.’ Kalimat gadis itu terngiang dalam benaknya, menyerang keyakinan yang selama setahun ini dipegangnya kuat-kuat. Tuhan Maha Pengampun, Tuhan Maha Mengasihi. Pemuda itu menggigit bibir. Tangannya meremas kain celananya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Kenapa membingungkan begini?

“Hei,” sapaan seseorang membuyarkan lamunannya. “Apa yang kau lakukan di sini?” seorang asing mendekat ke arahnya sambil menyorotkan cahaya senter.

Pemuda itu menyipitkan mata, merasa silau dengan sinar itu.

“Kau bukan orang sini, ya?” orang itu berhenti tepat di depannya sambil mematikan lampu senter.

Si pemuda mengernyit saat memandang siluetnya yang gelap. Hanya matanya yang kelihatan cerah menyeramkan.

“Aku kemari diutus seseorang,” dia menyimpan senternya ke dalam saku jaket. “Katanya, di sini ada seorang murtad yang sudah membunuh orang-orang tak berdosa.”

Ucapannya membuat tubuh pemuda itu menegang. Hellde! Ia ingin bergerak lari, tetapi tubuhnya terasa kaku seperti dikunci sesuatu.

“Nah, kalau kau mati, aku bisa mendapat setahun pengampunan,” orang itu memandangnya dingin. Iris matanya yang gelap berubah menjadi merah darah.

Mata pemuda itu melebar, rasa takut mencengkram benaknya. Lidahnya kelu dan tubuhnya membeku. Ada semacam tarikan amarah dan penyesalan bergelut dalam dirinya sekarang. Semua ingatannya dibongkar, kejahatannya diungkap dalam pikirannya sendiri. Tindakan-tindakannya berubah menjadi semacam pisau yang menghujani hatinya, membuatnya merasa sakit dan tidak kuat. Semakin lama, pikirannya bertambah gila. Matanya masih melebar tapi sorot matanya kosong. Sebelum sisa-sisa kesadarannya hilang, pemuda itu kembali berharap.

Tuhan... tolong beri hamba satu kesempatan lagi.

Dan semua pun berubah gelap. Neraka tengah menanti. Surga tertutup. Namun, ia mendengar bisikan lembut, bahwa... waktunya belum habis.

Selesai

*** Note:
Cerpen ini dibuat berdasarkan tema yang diangkat pada forum kastil fantasi bulan ini yaitu, bounty hunter. Saya sengaja membuat cerita ini tanpa bermaksud SARA sama sekali.

2 komentar: