Seorang
wanita tuna susila ditemukan tewas di gang sempit yang ada di antara dua
kompleks ruko. Tidak ada tanda kekerasan di tubuhnya, tapi matanya membelalak,
seolah baru saja melihat sesuatu yang menakutkan. Perkiraan kematiannya antara
jam 1 hingga jam 3 pagi, sewaktu keadaan di sekitar tempat tersebut sedang
sepi-sepinya.
Sekarang,
polisi masih memeriksa tempat kejadian perkara dan mencatat keanehan apa pun di
sekitar sana. Orang-orang berkerumun di pinggir garis polisi, ingin tahu apa
yang terjadi. Beberapa berkasak-kusuk, membicarakan korban pembunuhan yang kini
telah ditandu ke ambulans. Rasa was-was dan khawatir terlihat di wajah orang-orang
yang tengah menonton itu. Perhatian mereka tertuju pada si mayat yang sudah
masuk ke kantong jenazah dan dibawa ke dalam ambulans. Satu-dua orang terlihat
geleng-geleng kepala.
“Ini
pembunuhan kelima dalam sebulan terakhir,” gumamnya yang disambut komentar
bernada khawatir dari orang di sebelahnya.
Akhir-akhir
ini pembunuhan marak terjadi, terutama di kawasan rawan kejahatan serta
lokalisasi. Dan yang paling mengherankan, korban yang tewas adalah si pelaku
kejahatan sendiri. Ada dugaan kalau mereka dibunuh oleh musuh mereka. Namun,
dari sebagian besar korban yang telah diautopsi, tubuh mereka benar-benar
bersih dari kekerasaan, seolah... serangan jantung-lah yang menyebabkan mereka
mati.
***
“Hanya 3 bulan?” pemuda itu
terlihat kecewa. Dahinya berkerut hingga membuat alisnya nyaris bertaut.
Matanya memandang nanar pria berwajah rupawan yang menjadi lawan bicaranya. “Apa
tidak bisa ditambah?” tanyanya, berusaha menawar hasil pekerjaannya.
Pria berambut hitam pendek
dan berkulit pucat itu mendecakkan lidah beberapa kali sambil menggeleng.
“Aturan tetap aturan. Kroco semacam itu harganya murah. Aku sudah berbaik hati
mencatat 3 bulan pengampunan untukmu. Apa kau mau harganya kuturunkan jadi 1
bulan?”
Pemuda itu mendesah, tak
bisa lagi berkata-kata. “Ya, ya. Kuterima 3 bulan itu,” ujarnya.
“Begitu kan lebih baik,”
pria berkaus polo dan bercelana kain itu memberikan cap pada sebuah buku tebal
yang ada di tangannya. “Kalau ingin mendapat pengampunan yang lebih besar, kau
harus mendapat buruan yang lebih berharga juga.” Buku dan stempel yang ada di
tangan pria itu hilang entah ke mana.
“Sulit mendapat buruan
berharga,” pemuda itu menghela napas sambil memasukkan kedua tangannya ke saku
jaket. Tatapannya mengitari seisi ruangan berukuran 6 x 6 yang sudah
berulang-kali didatanginya ini. Lama-lama memandang sosok berpakaian serba
putih di hadapannya membuat matanya sakit. Namun, mengalihkan pandangan ke arah
lain pun tidak banyak membantu mengurangi sakit matanya. Ruangan ini dicat
serba putih dan perabotannya juga didominasi warna putih.
“Kukira, aku akan mendapat
pengampunan setidaknya 6 bulan karena membunuh si mucikari. Ternyata harganya
sama seperti pelacur lainnya, ya.” Pandangan pemuda itu kemudian tertunduk ke
lantai, yang kebersihannya sampai membuatnya bisa berkaca. Ia bergidik ketika
melihat hanya ada bayangannya di sana. Pria di hadapannya sama sekali tidak
memiliki bayangan.
“Mereka tidak terlalu
berharga,” pria itu mengibaskan tangan. “Apa yang mereka perbuat hanya
berdampak pada diri mereka sendiri. Kalau mau pengampunan lebih besar, bidik yang
punya pengaruh pada lingkungan.”
Pemuda itu kembali menatap
pria itu. Salah satu alisnya terangkat. “Pimpinan genk narkoba pun cuma kau
beri 4 bulan pengampunan,” gerutunya. “Aku butuh lebih dari itu! Aku
menginginkan setidaknya 1 atau 2 tahun pengampunan!”
“Manusia,” keluh si pria
sambil memutar mata. “Tidak sabaran, cepat marah, dan terburu-buru. Itu
sebabnya kau mudah sekali terjebak dosa. Bukankah aku sudah bilang, kendalikan
emosimu. Hati-hati dengan kemarahanmu. Sebanyak apa pun kau mengumpulkan cap
pengampunan, itu semua akan sia-sia kalau kepribadianmu masih buruk.”
Pemuda itu terdiam, tak bisa
mengelak dari kenyataan yang dituduhkan pria itu.
“Ini, kuberi kau kemudahan,”
pria itu menyodorkan sebuah foto yang muncul begitu saja di tangannya. “Bunuh
dia dan kau akan mendapat 5 tahun pengampunan.”
Mata pemuda itu berbinar
mendengar ucapannya.
***
Gadis
itu tidak terlihat aneh atau pun ‘bermasalah’. Cara berpakaiannya sopan, yang
mana dia selalu mengenakan atasan maupun bawahan yang panjang. Tidak pernah
sekalipun dia memakai pakaian yang tidak senonoh. Dandanannya pun biasa saja,
bahkan dia sama sekali tak memakai make-up. Selama beberapa minggu
mengintainya, ia mendapati kalau pergaulan gadis itu pun dalam lingkungan yang
baik. Interaksinya dengan lawan jenis sama sekali tidak berlebihan. Dia sopan,
tutur katanya bagus dan nyaris tak bercela.
Namun,
biasanya di balik kesempurnaan, ada banyak kekurangan yang ditutupi. Ia tahu,
gadis itu sering terlibat pertengkaran dengan orangtuanya di rumah. Dalam
organisasi, ia yang paling egois dan suka mementingkan pendapat sendiri.
Kadang-kadang, kata-katanya pun sering menyakiti pihak lain.
“Incaran
macam apa ini?” keluh pemuda itu sambil mengawasi si gadis yang mampir ke salah
satu minimarket di sisi jalan. Ia terpaksa pura-pura berteduh di bawah teras
salah satu ruko yang tutup di kawasan pertokoan puat kota. Gadis itu baru saja
pulang sekolah dan seperti beberapa hari yang lalu, ia pun menguntit ke mana
pun gadis itu pergi.
Dari
semua buruan yang pernah ia kejar, gadis itu sama sekali tidak terlihat
menantang. Dia justru terlihat paling ‘normal’ dan kalem. Aneh..., apa mungkin
si malaikat salah memberi buruan? Ah, tidak mungkin. Malaikat tidak pernah
salah. Pasti ada sesuatu pada diri gadis itu yang membuatnya harus diburu dan
bernilai paling tinggi di antara yang lain.
Pemuda
berambut hitam pendek dan berkulit putih pucat itu bediri tegak saat si gadis
sudah selesai membeli barang dari minimarket. Ketika jarak antara dirinya dan
gadis itu dirasa cukup aman, ia pun kembali membuntutinya. Ia harus membunuh
gadis itu. Ia harus mendapatkan pengampunan selama 5 tahun!
***
Kesempatan
kedua yang diberikan Tuhan sama sekali tidak boleh ia sia-siakan. Hidup yang ia
jalani sekarang benar-benar harus didekasikan sepenuhnya pada Tuhan. Membunuh mereka yang jahat dan menyelamatkan
manusia lain dari kejahatan adalah salah satu upaya penebusan atas segala
dosa-dosa yang pernah ia kerjakan sebelumnya.
Kehidupannya
sebelum diselamatkan sang malaikat adalah kehidupan yang kotor dan penuh
manipulasi. Ia terlibat dalam hal-hal jahat yang membuatnya dibenci oleh
sesama. Badannya rusak oleh obat-obatan, akalnya tenggelam dalam kesenangan,
serta hatinya mati karena keserakahan. Dulu, apa pun yang ia lakukan didasarkan
untuk dunia. Tak pernah sekali pun ia memikirkan orang lain, apalagi
penderitaan mereka. Menyingkirkan mereka yang jadi musuh sudah biasa, apalagi
menindas orang-orang kecil tak berduit. Tidak ada yang bisa dibanggakan pada
masa lalunya, meski dirinya ditakuti dan disegani karena caranya yang kejam.
Namun,
semua berubah setelah kecelakaan yang nyaris merenggut nyawanya. Seorang malaikat
datang padanya, menuntunnya kembali ke jalan yang benar. Ia diijinkan untuk
mengharap surga apabila menjalankan permintaan dari sang malaikat. Salah
satunya adalah membunuhi orang-orang jahat. Mereka yang tak bermoral, tak
berperasaan seperti dirinya dulu harus dilenyapkan, supaya tercipta kebaikan di
muka bumi. Jika dia membunuh orang-orang jahat itu, dosa-dosanya dalam kurun
waktu tertentu akan dihapus. Dan kini, dosanya yang sebesar 70 tahun usia telah
berkurang mencapai 10 tahun usia karena tugas yang ia jalani.
Ia
tak sabar menghapus semua dosa-dosanya yang tersisa. Ia butuh target-target
besar untuk melenyapkan sisa dosanya.
***
Gadis
itu hampir mencapai kompleks perumahan di mana dia tinggal. Sebelum itu, dia
harus melewati sebuah taman kompleks dan berbelok lagi untuk sampai di pos
satpam. Di sinilah tempat yang tepat untuk menjalankan eksekusi. Pemuda itu
bergerak cepat tanpa suara dan langsung menyambar gadis itu. Si gadis hendak
menjerit tetapi mulutnya sudah dibekap, sehingga tak terdengar apa pun selain
gumaman-gumaman aneh.
Keadaan
di sekitar taman sangat sepi saat siang. Rumah-rumah besar di sekitar taman pun
tertutup rapat, tanpa terlihat seorang pun berminat hendak keluar. Setelah
berminggu-minggu mengawasi dan menyurvei keadaan di sekitar tempat tinggal
gadis ini, ia jadi hafal kapan waktu-waktu tempat ini ramai maupun sepi. Pemuda
itu menyeret si gadis ke dalam taman dan membawanya ke sudut taman yang
tertutup pohon serta semak-semak. Namun, tanpa diduga, gadis itu melawan.
Dia
menginjak kaki pemuda itu dan sikunya menyodok rusuk. Pemuda itu kehilangan
kontrol sesaat karena terkejut dan merasa sakit. Namun, sebelum gadis itu
terlalu jauh dari cengkramannya dan hendak berteriak, ia langsung menarik gadis
itu dan membantingnya ke tanah. Dalam sepersekian detik, ia menindih dan
mengunci tubuhnya. Satu tangannya masih membekap mulut gadis itu.
“Sebenarnya
aku tidak suka kasar pada wanita, tapi... kau sedikit menjengkelkan,” pemuda
itu kembali menggerutu. “Diam dan mari kita selesaikan baik-baik.”
Gadis
itu menyahut, entah mengatakan apa karena kata-katanya tidak jelas terdengar.
Tentu saja, bagaimana kalimatnya bisa terdengar jelas kalau mulutnya ditutup
tangan seperti itu? Air mata menggenang di pelupuk gadis itu. Dia benar-benar
terlihat ketakutan saat pemuda itu mendekatkan wajah. Pikiran dan benaknya
kacau seketika.
“Sekarang,
matilah dengan tenang dan damai. Kematianmu membawa kedamaian bagi semua umat,”
iris mata kecokelatan pemuda itu berubah menjadi merah darah.
Seketika,
gadis itu menutup matanya dan memalingkan pandangannya.
“Hei,
ayo buka mata! Jangan tutup matamu!” pemuda itu memaksanya untuk buka mata,
tapi gadis itu tidak mau membukanya matanya. Dia kembali bicara tak jelas, yang
makin menjengkelkan si pemuda. “Apa sih yang sebenarnya ingin kau katakan?
Jangan harap aku mau membuka bekapanku.” Geramnya. “Sekarang, buka mata! Aku
butuh nyawamu!” ia berusaha membuat gadis itu membuka mata.
Gadis
itu mendadak kembali liar. Dia memberontak dari kuncian si pemuda sampai
akhirnya tanpa sengaja bekapan itu terlepas. Dalam momen singkat itu, si gadis
pun memaki, “Dasar Hellde keparat!”
Dan
kalimat itu sukses membuat si pemuda terpaku. Gadis itu... tahu?
***
Pemuda
itu duduk terpekur di taman, sendirian dalam kegelapan malam. Hanya sinar bulan
yang menemaninya di sana. Kebetulan, area ini pun sedang mati listrik, sehingga
keadaan gelap gulita dan tak seorang pun menyadari keberadaannya di taman
tersebut setelah keributan kecil yang terjadi siang tadi.
Kepalanya
tertunduk tanpa daya dan matanya memandang kedua tangannya yang dikotori tanah.
Mata dan pipinya basah oleh air mata. Bibirnya bergetar dan lagi-lagi air
matanya mengalir. Kebodohan macam apa yang ia lakukan barusan? Betapa tololnya
ia melepaskan gadis tadi karena mendengar makiannya yang singkat. Ia adalah
seorang Hellde, seorang pelayan.
Kenapa juga harus mendengar cerocosan gadis itu? Bisa jadi... dia hanya
berbohong untuk mendapat keselamatan. Namun, saat melihat tanda di lengan
kanannya, ia tak bisa berkutik. Tanda berbentuk seperti cap yang selalu
menghiasi buku penebusan dosanya itu sama dengan tanda yang ia miliki. Bedanya,
tanda di lengan gadis itu sudah disilang, tanda bahwa dia bukan lagi Hellde.
Pemuda
itu mengigit bibir bawah. Ia meremas rambut pendeknya dengan gusar. Apa yang
diceritakan gadis itu benar-benar membawa pengaruh besar pada mentalnya. Ia dan
apa yang dijalaninya. Mengenai kebenaran dan kejahatan, semua tercampur aduk
jadi satu hingga membuat pikirannya terdistraksi. Ia butuh jawaban yang lebih
detail, tetapi ada rasa takut bercokol dalam hatinya. Ia takut, entah pada sang
malaikat atau pada Tuhan.
“Gagal?”
pertanyaan itu membuat kepalanya tersentak ke belakang.
Ia
menengadah dan mendapati pria bersetelan putih itu berdiri di hadapannya dengan
kedua tangan masuk ke saku celana. Seperti biasa, pria itu tampak menyilaukan,
terutama dalam kegelapan seperti ini. Tubuhnya diselubungi semacam cahaya tipis
yang membuatnya terkesan agung dan berwibawa.
“Bukannya
kau ingin surga? Kenapa justru meloloskan gadis itu? Padahal dia bisa menghapus
5 tahun masa dosa-dosamu,” mata hitamnya memandang dingin si pemuda.
“Aku...,”
pemuda itu merasa kelu untuk bicara. Ia tak berani menceritakan apa yang
didengarnya dari gadis tersebut.
“Gadis
itu menceritakan kalau dirinya dulu Hellde
juga?” pertanyaan pria itu mengagetkannya.
“Bagaimana
kau tahu?”
“Tentu
saja aku tahu. Kau pikir aku tidak mengawasi tindak-tandukmu?” pria itu mencibir.
“Gadis itu dulunya memang Hellde. Tapi
dia berkhianat. Dia memilih kembali pada kesesatan, padahal Tuhan sudah
menunjukinya jalan. Pada akhirnya, sekarang dia menjadi musuhmu, musuh kita.”
Pemuda
itu ternganga. Berkhianat pada Tuhan?
“Kurasa
gadis itu terlalu berat untukmu. Sepertinya, kau memang lebih cocok membunuh
kroco-kroco di sekitar lokalisasi atau daerah rawan kejahatan,” lanjut pria itu
sebelum pergi dari hadapannya.
Pemuda
itu bengong, mencerna semua yang didengarnya barusan. Membunuh kroco memang
mudah, tetapi bayaran yang ia terima tidak setimpal. Ia membutuhkan pengampunan
yang panjang. Pengampunan yang bisa menghapus semua dosanya. Pengampunan?
Pemuda
itu terdiam, perasaannya mulai goyah.
Apa pengampunan Tuhan sesulit itu? Pertanyaan gadis itu terngiang di benaknya.
***
Beberapa
jam yang lalu...
Mereka
berdiri berhadapan. Si pemuda tak lagi menindih atau pun mengunci si gadis, dan
gadis itu sendiri memenuhi janjinya untuk tidak kabur setelah si pemuda
melepasnya. Mereka saling melemparkan tatapan maut, yang bisa membuat orang
biasa menciut ketakutan.
“Dia
memperalatmu,” ujar gadis itu.
“Tidak
mungkin! Dia penolongku!” si pemuda masih berkelit dari kenyataan yang baru
saja disampaikan gadis itu.
“Penolongmu
menuju neraka,” cibir gadis itu. “Dia iblis!”
Pemuda
itu tertegun.
“Dia
menipumu, supaya kau semakin tersesat,” katanya. “Kau pasti diminta membunuhi
orang jahat, kan?” pertanyaannya tak dijawab, yang diasumsikan si gadis kalau
itu benar. “Sekarang aku tanya padamu, bagaimana kau tahu kalau mereka jahat?”
tanyanya.
Mata
pemuda itu nyalang, memperlihatkan amarah. “Mereka melakukan sesuatu di luar
aturan agama!”
“Lalu,
karena mereka melanggar aturan, dengan begitu kau berhak membunuh mereka tanpa
mengonfirmasinya?” tanyanya sinis. “Sejak kapan kau mengambil alih tugas
malaikat maut?” lagi-lagi pertanyaannya membuat si pemuda bungkam. “Apa begitu
mudah membuat nyawa orang lain melayang? Apa tindakanmu sendiri dibenarkan oleh
agama?”
“Diam!
Aku hanya menjalankan perintah!”
“Perintah
Iblis,” tandas gadis itu. “Apa pengampunan Tuhan sesulit itu?”
Geraman
pemuda itu sedikit berkurang.
“Apa
Tuhan sekeji itu dengan memerintahkan makhluk-makhlukNya dibunuh tanpa alasan?
Pernahkah kau berinteraksi dengan orang-orang yang kau bunuh sebelum aku dan
menanyai mereka mengenai kejahatan yang mereka lakukan? Pernah kau tanya, apa
mereka pernah berhasrat untuk berhenti melakukan maksiat?”
Pemuda
itu melunak. Tidak, ia tidak pernah mencoba berinteraksi dengan mereka.
“Kau
tahu, kenapa dia memintaku dijadikan target?”
Pemuda
itu hanya memandangnya, tak tahu apa yang harus ia katakan.
“Itu
karena aku sadar,” gadis itu menunjuk-nunjuk
pelipisnya sendiri. “Aku sadar apa yang
diperintahkannya salah. Aku sadar, apa
yang diperintahkannya justru membawaku menjauhi Tuhan. Karena itu, aku memutuskan
berhenti dan kembali ke jalan yang semestinya.”
“Jalan
yang semestinya?” si pemuda mendengus. “Melawan Orangtua, bersikap egois dalam organisasi,
dan mementingkan pendapat sendiri apa bisa dibilang ke jalan semestinya?” ejeknya.
Gadis
itu menghela napas, memahami ke arah mana pemuda di hadapannya ingin menyerang argumennya.
“Kau tahu kenapa aku melawan Orangtuaku? Karena mereka mencoba bertindak sesuatu
yang tidak benar. Mereka ingin menyogok guru-guruku supaya nilai ujianku naik. Aku
bodoh di beberapa mata pelajaran eksakta dan mereka ingin aku masuk ke jurusan eksak.
Aku menolak penyogokan itu dan berusaha agar Orangtuaku menerima pilihanku di jurusan
sosial. Kami bertengkar hebat dan Ayahku membodoh-bodohkan diriku. Mungkin kau sudah
menyelidiki bagian itu.”
Si
pemuda terpana, tak menyangka mendengar kejujuran ini.
“Tahu
juga kenapa aku bersikap egois di organisasi? Semua kulakukan untuk mendisiplinkan
anggota. Kebanyakan anggotaku bersikap malas dan suka menilap uang keanggotaan.
Kalau aku tidak mengambil sikap dan membiarkan mereka, lama-lama organisasi akan
mati. Aku berupaya melakukan penyelamatan,” lanjut gadis itu. “Dan terakhir, selama
aku benar dengan pendapatku, maka aku akan mempertahankannya, kecuali aku salah.
Aku akan mendengar pendapat orang lain.”
“Manusia
mana mau bila pendapatnya disalahkan? Semua ingin dianggap benar,” cibir pemuda
itu.
“Memangnya
kau bukan manusia?” salah satu alis gadis itu terangkat. “Bukannya kau juga mau
pendapatmu kuanggap benar?” pertanyaannya terdengar sedikit menyudutkan. “Selama
tidak ada yang mau mendengarkan, jadinya hanyalah perdebatan sia-sia. Dan itu paling
‘dia’ sukai. Berdebat kemudian saling membenci, berakhir pada putusnya tali hubungan.
Lebih jauh lagi, berkembang menjadi rasa dendam dan iri, kemudian diakhiri dengan
perpecahan. Dia benar-benar menikmati setiap adu domba yang ada di dunia ini.”
Bibir
pemuda itu terkatup.
“Sekarang,
aku tanya padamu, apa Tuhan sesulit itu mengampuni seorang hamba? Tidak. Dia selalu
memudahkan. Dia telah menetapkan aturan-aturan yang menjaga supaya kita tidak tersesat.
Ada ketetapan-ketetapan yang harus kau ketahui sebelum membunuh orang dan itu tidak
bisa didasarkan atas alasan karena dia jahat saja. Apa kau tahu, mungkin.... di
dalam hati orang-orang yang kau bunuh itu sebenarnya mereka ingin bertaubat dan
kembali pada Tuhan?”
Rahang
pemuda itu mengencang. Sorot matanya memperlihatkan amarah. “Persetan dengan omonganmu!”
“Terserah
kau mau mendengar atau tidak. Tapi kutegaskan, kau diperalat! Dan kuberitahu satu
hal, dia ingin aku mati karena..., aku membantu ‘mereka’ yang tersesat supaya kembali
ke jalan yang benar,” gadis itu menatapnya dingin. “Dan apa yang kulakukan tidak
seperti apa yang kau lakukan! Tuhan Maha Pengampun, Tuhan Maha Mengasihi, cara-cara
brutal yang kau pakai itu salah.”
***
Siapa
yang diperalat, siapa yang memperalat?
Pemuda
itu tertawa sumbang dalam kesendiriannya di taman kompleks. Ia hanya menginginkan
pengampunan. Ia hanya menginginkan surga dan penerimaan Tuhan. Apa salah ia melakukan
semua pembunuhan-pembunuhan ini? Bukannya, ia sudah melakukan sesuatu yang benar
dengan menyingkirkan orang jahat?
‘Mungkin saja... di dalam hati orang-orang yang kau bunuh
itu sebenarnya mereka ingin bertaubat dan kembali pada Tuhan.’ Kalimat gadis itu terngiang dalam benaknya, menyerang keyakinan
yang selama setahun ini dipegangnya kuat-kuat. Tuhan Maha Pengampun, Tuhan Maha Mengasihi. Pemuda itu menggigit bibir.
Tangannya meremas kain celananya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Kenapa membingungkan
begini?
“Hei,”
sapaan seseorang membuyarkan lamunannya. “Apa yang kau lakukan di sini?” seorang
asing mendekat ke arahnya sambil menyorotkan cahaya senter.
Pemuda
itu menyipitkan mata, merasa silau dengan sinar itu.
“Kau
bukan orang sini, ya?” orang itu berhenti tepat di depannya sambil mematikan lampu
senter.
Si
pemuda mengernyit saat memandang siluetnya yang gelap. Hanya matanya yang kelihatan
cerah menyeramkan.
“Aku
kemari diutus seseorang,” dia menyimpan senternya ke dalam saku jaket. “Katanya,
di sini ada seorang murtad yang sudah membunuh orang-orang tak berdosa.”
Ucapannya
membuat tubuh pemuda itu menegang. Hellde!
Ia ingin bergerak lari, tetapi tubuhnya terasa kaku seperti dikunci sesuatu.
“Nah,
kalau kau mati, aku bisa mendapat setahun pengampunan,” orang itu memandangnya dingin.
Iris matanya yang gelap berubah menjadi merah darah.
Mata
pemuda itu melebar, rasa takut mencengkram benaknya. Lidahnya kelu dan tubuhnya
membeku. Ada semacam tarikan amarah dan penyesalan bergelut dalam dirinya sekarang.
Semua ingatannya dibongkar, kejahatannya diungkap dalam pikirannya sendiri. Tindakan-tindakannya
berubah menjadi semacam pisau yang menghujani hatinya, membuatnya merasa sakit dan
tidak kuat. Semakin lama, pikirannya bertambah gila. Matanya masih melebar tapi
sorot matanya kosong. Sebelum sisa-sisa kesadarannya hilang, pemuda itu kembali
berharap.
Tuhan... tolong beri hamba satu kesempatan lagi.
Dan
semua pun berubah gelap. Neraka tengah menanti. Surga tertutup. Namun, ia mendengar
bisikan lembut, bahwa... waktunya belum habis.
Selesai
*** Note:
Cerpen ini dibuat berdasarkan tema yang diangkat pada forum kastil fantasi bulan ini yaitu, bounty hunter. Saya sengaja membuat cerita ini tanpa bermaksud SARA sama sekali.
Widiiww kereen diinn :D
BalasHapusMakasih, mbak Isna :o
Hapus