Senin, 22 Juni 2015

Mungkin Ini Bukan Saatnya?


   Pernah nggak sih, kalian meminta atau mengharapkan sesuatu tetapi ternyata nggak dikasihin saat itu juga? Saya pernah, sering malah. Bukan hanya dalam konteks meminta pada sesama manusia, yang notabene dari Ibu atau Bapak, melainkan meminta pula dari Tuhan Yang Maha Kaya.

   Soal minta-meminta ini paling kuat saya rasakan tahun lalu, saat masih jadi pengangguran, gak punya uang, serabutan apa pun dilakoni asal ada dana tambahan di tabungan. Waktu itu, saya stressnya bukan main, sampai-sampai yang namanya mau senyum pun susah. Jadi isinya kepala pasti udah luntang-lantung mikir apa yang harus dilakoni biar dapet tambahan uang. Walau begitu..., kadang saya juga menyadari, situasi stress ini saya sendiri yang menciptakannya, karena... emang ndak niat juga cari kerja tetap gara-gara ingin fokus ke penulisan.

   Cilaka emang. Cilaka.... 


   Dari dulu, saya sudah berkeinginan untuk menjadikan menulis sebagai karir profesi saya. Harapan saya selalu melambung tinggi terhadap dunia ini, walau entah sudah ke-berapa kalinya saya juga jatuh kebanting di tanah yang keras. Sakit guys waktu dalam posisi ini. Mimpi-mimpi yang saya pupuk pelan-pelan terkikis dengan kenyataan, membuat saya sadar bahwa menginginkan menulis menjadi sebuah profesi membutuhkan pengorbanan yang tidak main-main, termasuk waktu, hati, dan pikiran.

   Hati dan pikiran sudah jelas, ya. Namun, yang paling riskan adalah mengorbankan waktu. Diputar seperti apa pun, waktu nggak akan pernah kembali dan ibaratnya tahun lalu saya main judi dengan waktu    dengan nasib saya sendiri. Kemarin, tahun 2014, merupakan tahun di mana banyak sekali lomba kepenulisan. Mulai dari tiga serangkai, grasindo     saya agak lupa grasindo ngadain juga atau enggak    , gramedia writing project, sampai penerbit indiva pun mengadakan lomba menulis novel dengan deadline yang lumayan lama. 

   Lomba-lomba tersebut jelas menggiurkan saya dan membuat saya terpacu untuk membuat naskah-naskah baru. Yah, nggak memungkiri juga, hadiahnya pun menggiurkan. Lumayan, ada 2 naskah yang lahir dari keikutsertaan ajang penulisan lomba tersebut, yaitu Purnama Terakhir dan Dua Layar. Keduanya berbeda genre, satu fantasi dan satu lagi sci-fic semi thriller. Pada pencapaian tersebut, saya merasa lega sekaligus banyak berharap supaya kedua naskah tersebut lolos hingga sampai final. Namun, apa daya, hanya Dua Layar yang tembus sampai ke babak 40 besar di ajang lomba menulis novel Indiva. Yang lain? Gagal, termasuk naskah yang saya masukkan ke gwp.

   Sakiiiit, waktu tahu nggak ada satu pun naskah yang memenangi lomba.

   Saya termasuk depresi saat itu, karena harapan untuk membuka gerbang dunia penulisan rupanya masih jauh. Doa-doa yang saya panjatkan selama beberapa bulan terakhir, ketika memohon pada Tuhan supaya dimenangkan dalam lomba-lomba tersebut rupanya belum terkabul. Setahun bukan termasuk waktu yang sebentar dan dengungan pertanyaan soal pekerjaan saya pun mulai dilontarkan oleh para tetangga atau pun kolega orangtua. Nah..., ini menjadi momok yang paling mengerikan bagi saya. Kalau pun saya jelaskan bahwa saya berminat menjadi penulis, tentu saja tidak ada satu pun di antara mereka yang akan percaya sekaligus menerima, kan? Atau bahkan mereka nggak akan peduli soal rintisan yang sedang saya jalani ini. Saya kira..., mereka nggak akan peduli. Mereka hanya sekedar bertanya saja. (Ah..., betapa kadang, saya suka sekali bersikap sinis.)

   Dibilang penulis tapi belum punya karya yang layak terbit, dibilang bukan penulis ya segan juga. Mirip seperti pepatah: Disebut penulis segan, dibilang bukan penulis pun tak mau. Lantas maunya apa dong?

   Yah..., pada akhirnya isi kepala saya semakin bertambah ruwet setelah lomba menulis yang saya ikut berakhir dan saya tahu gak lolos. Saya waktu itu udah pundung. Jalan rasanya mentok dan nggak tahu lagi harus lewat ke mana. Sampai akhirnya, ada berita yang sangat nggak disangka-sangka. Ketika tahu mengenai berita tersebut, saya pun menganga saking kagetnya. Hal dasar yang menjadi masalah finansial saya akhirnya terpecahkan dan saya sendiri masih belum percaya bisa lolos ujian tersebut. Sungguh kenyataan yang tidak dapat diduga.

   Mulai dari itu, saya menyusun kembali langkah saya untuk menjejak di dunia penulisan. Memang, awalnya sedikit terseok-seok dan berat. Namun, bukankah menulis adalah sebuah ketrampilan yang harus terus diasah? Selama sebulan setelah pengumuman berakhirnya lomba, saya menjauh sebentar dari dunia ini, tak lain untuk menenangkan hati dan pikiran. Tapi, begitu pengumuman tes keluar, itu membuat saya lega, karena masalah yang paling mendasar sudah terpecahkan. Tuhan benar-benar tahu bagaimana memberikan hambaNya sebuah kejutan.

   Mulai dari tahun ini, saya kembali belajar mengenai dasar-dasar penulisan. Bagaimana membangun premis, membuat kerangka, sampai belajar untuk menetapkan deadline. Agak sulit memang pada awalnya, karena saya menyadari bahwa pikiran saya ternyata masih suka mengonsep hal-hal besar dan rumit sampai bikin saya sendiri kerepotan untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. Tapi, sekali lagi, menulis merupakan ketrampilan yang musti terus diasah dan diperbaiki. Saya nggak berani mengeluh dalam hal ini, kecuali... ya emang sih, kalau pikiran mentok sampai saya nggak tahu apa yang musti saya tuliskan, saya bakal ngeluh sana-sini ampe orang lain bosen dengernya.

   Dan sekarang, saya merasa semakin banyak belajar dari dunia ini. Naskah yang saya kerjakan sekarang, rasanya lebih enak dalam dikerjakan dari pada naskah-naskah sebelumnya yang terkesan maksa dan ceritanya-pokoknya-maunya-saya-seperti-itu. Walau, emang sih, belum sampai tahap nyodorin naskah ke penerbit dan belum tahu juga nanti gimana reaksi mereka setelah baca naskah yang baru ini. Semoga saja... mereka menerimanya. Lillahi Ta'ala. Tuhan selalu tahu kapan memberi kejutan. Mungkin, bila belum sekarang terkabul, tahun depannya baru dikabulkan atau mungkin tahun depannya lagi. Siapa yang tahu?

   Saya rasa..., Tuhan selalu memperhatikan bagaimana kesiapan mental hamba-hambaNya dalam menerima apa yang telah dikabulkanNya. Sehingga, saat Dia belum mengabulkannya sekarang, mungkin karena mental kita saja yang belum siap atau dirasa memang bukan saatnya. Menunggu waktu yang tepat, begitulah saya kira. Dia Yang Maha Tahu dan lebih tahu apa yang terbaik untuk kita. 

   Begitulah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar