Sabtu, 22 November 2014

Bulan Tidak Biasa



Judul : Bulan Nararya
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : Indiva Media kreasi
Harga : (keknya) 46.000
genre : psikologi

Dengan Covernya yang imut dan manis seperti itu, saya sempat mengira kalau Bulan Nararya bercerita mengenai anak kecil yang berusaha menggapai cita-citanya. Serius, covernya menipu, bikin saya kecele karena mengira ini buku anak-anak. Namun, saat membaca promo tweet dari penerbitnya, barulah saya sadar, kalau buku ini bisa dibilang untuk dewasa dengan topik yang lumayan berat, tetapi tidak berat sepenuhnya.

Bulan Nararya, saya kira ini nama tokohnya, lho, dan ternyata saya salah lagi. Nama tokohnya adalah Nararya Tunggadewi. Nama yang cukup unik. Tunggadewi merupakan nama Ratu dari Kerajaan Majapahit, sedangkan Nararya sendiri berasal dari bahasa sansekerta yang berarti mulia. Nama yang memiliki arti sangat bagus, sekaligus... kelihatannya berat disandang oleh si tokoh utama.

Bulan Nararya mengisahkan sepenggal hidup Nararya yang biasa dipanggil Rara (kalau saya sih paling manggil dia Nara), yang bekerja sebagai terapis di sebuah klinik kesehatan mental di pinggir kota Surabaya. Uwoo..., latar ceritanya berbeda dari kebanyakan novel yang selalu mengambil latar Jakarta. Cerita ini pun tidak berkesan hedonis atau terlalu absurd. Yang bisa digambarkan dalam kisah Rara di buku ini adalah realita yang diungkapkan secara gamblang dengan sedikit metafora.



Bekerja sebagai terapis di bagian Skizophrenia membuat keseharian Rara lekat dengan kehidupan pasien/klien yang bisa dibilang gila. Dalam buku ini, setidaknya ada 3 pasien Skizophrenia yang ditampilkan, yaitu Pak Bulan (yang saya kira ada kaitannya dengan judul buku), Sania, dan Yudishtira. Masing-masing klien memiliki riwayat kegilaan yang berbeda serta latar keluarga yang berbeda. Namun, ada satu kesimpulan yang bisa ditarik dari ketiga pasien tersebut, yaitu mereka sama-sama mengalami skizophrenia karena tekanan dari keadaan sekitar, terutama dari keluarga.

Yudhistira, bungsu dari sebuah keluarga kaya, memiliki Ibu yang punya pengaruh, Kakak yang menekan, dan istri yang demikian terlalu mandiri. Masing-masing menuntut Yudhis untuk mengikuti kemauan mereka, hingga lelaki itu pun tertekan dan akhirnya tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia pun menjadi tertutup, sering diam, dan tak berminat berkomunikasi dengan dunia luar.

Sania, seorang anak perempuan berumur belasan, yang berasal dari keluarga miskin. Punya Ibu dan Nenek yang gemar memukul, Ayah yang sebenarnya menyayanginya tetapi seorang pemabuk yang bisa memukulnya. Sering mendapat perlakuan keras seperti itu membuat Sania pun memiliki tingkat emosional dan agresifitas tinggi terhadap orang lain. Saat marah atau tertekan, ia pun akan mengoyak bunga mawar lalu mengompol.

Ada lagi Pak Bulan. Saya kurang jelas mengenai latar belakang lelaki ini. Namun yang jelas, Pria tua ini berasal dari keluarga miskin. Mungkin terbiasa hidup tanpa memiliki mimpinya sendiri, tanpa diaku oleh orang lain. Orangnya sederhana, mimpinya pun sederhana. Dibanding Yudhistira dan Sania, karakter Pak Bulan tidak terlalu ditonjolkan. Tapi, yang identik dengan pak bulan adalah, dia selalu bisa melihat purnama kapan pun, entah itu pagi, siang, kalau malam jelas biasanya ada bulan. Satu-satunya yang membuatnya merasa berharga adalah kebun mawar miliknya.

Belum cukup masalah dan keruwetan Nararya di klinik, ia masih harus menghadapi keruwetan kehidupan pribadinya sendiri. Mantan suaminya, Angga, ternyata menjalin kasih dengan sahabatnya, Moza. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Rara? Euh, saya kalau melihat hal itu udah nggak nyesek lagi, tapi bisa depresi. Apalagi, ini tipe mantan suaminya Rara masih suka ngasih perhatian ke Rara, berasa kek ngasih harapan ke wanita itu. Bah..., tipe-tipe lelaki pemberi harapan palsu, bersikap baik pada semua wanita meski telah memiliki pasangan, melambungkan harapan mereka, dan akhirnya... yah begitulah. Banyak wanita yang sakit hati karena sikap Angga ini, lho. Meski di dalam hati, Angga sebenarnya cinta banget ama istrinya.

Pergelutan Nararya dalam menghadapi masalah-masalahnya cukup menarik. Dari mulai ide untuk penyembuhan skizophrenia, yaitu transpersonal, yang ditolak oleh kepala klinik. Halusinasi-halusinasi yang didapat oleh Rara (Terapis pun juga manusia biasa yang terkadang bisa juga merasakan 'sedikit' kegilaan, meski gak parah dari pasien-pasiennya), tekanan hidup karena perceraiannya dengan Angga. Bisa dikatakan, kehidupan Rara ini masalah paket komplit.

Saya menikmati dari awal masalah sampai akhir. Di awal, sedikit gagal paham juga sih, mengenai cuplikan kematian kucing Diana. Siapa itu Diana? Baca sendiri kisahnya ya~ *dikeplak*

Kepiawaian Mbak Sinta dalam menjalin cerita bulan Nararya ini nggak perlu diragukan lagi. Cerita mengalir lancar dengan masalah yang dikemukakan di awal dan ada titik cerah atau sedikit penyelesaian di akhir. Contoh perkembangan Yudhis pun terlihat dari caranya bercakap-cakap dengan Rara. Ketika keadaan Yudhis masih kurang baik, dia cenderung melontarkan kalimat-kalimat pendek, lugas, dan tajam. Namun, di bagian akhir buku, saat Yudhis kembali membaik, kata-katanya cenderung lancar, lembut, panjang, dan memiliki keterkaitan. Hee..., ternyata dari percakapan pun perubahan karakter bisa terasa sekuat ini.

Topik yang diangkat Mbak Sinta, mengenai penyakit Skizophrenia dijelaskan secara terpisah-pisah di buku ini. Jadi, kita nggak diberi penjelasan panjang-lebar di awal pengenalan mengenai penyakit ini, melainkan dari satu adegan cerita ke adegan lain, sehingga potongan-potongan itu pun menjadi gambaran utuh mengenai penyakit mental tersebut.

Cinta dan penerimaan utuh melengkapi kembali bagian waktunya yang lenyap, menambla puzzle hilang di hari-hari yang lewat. hlmn. 240.

Transpersonal yang digagas oleh Rara dalam buku ini pun menggelitik saya. Transpersonal adalah suatu aliran baru yang lebih berbau budaya dan filosofi, mencoba mendekati setiap penderita dengan apa yang mereka butuhkan. Mbak Sinta menggambakan pula mengenai kebutuhan seorang individu sesuai dengan adat budayanya yaitu budaya timur. Di mana akar dari budaya kita adalah kebersamaan, guyub, sehingga ketika satu orang tidak diperhatikan oleh kelompoknya, maka ia akan menjadi terasing dan semakin memicu tekanan oada orang-orang yang memiliki bibit skizophrenia. Di sini digambarkan, bagaimana ketika ketiga pasien tersebut mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan ketika keluarga mereka mulai menerima mereka kembali, mulai mengayomi mereka lagi.

Kemudian, ada satu paragraf panjang yang membuat saya tertarik. Itu ada di halaman 241. "Kehalusan perasaan seringkali dimiliki oleh orang-orang berjiwa seni. Seniman, sebagian besar memiliki keceerdasan genius, menuangkan gagasan dalam beragam bentuk produktivitas karya musik, rupa, lukis, atau sastra. Saat berkontemplasi melakukan pengembaraan ilusi, mereka bersikap menyepi. Kemampuan menarik diri kembali ke dunia realita inilah yang membedakan seniman dengan skizophrenia."

Wah... :D

4 Bintang untuk buku ini. Topik menarik, cerita mengalir lancar. Cuma satu kekurangannya, kurang panjang :'(
E tapi, gak apa-apa ding, kurang panjang. Kalau kepanjangan dan ceritanya tambah banyak, halaman kertas nambah, harganya bisa jadi mahal, sayang... buku ini gak bisa kutemukan di toga mas :(

Akhir kata, selamat untuk buku barunya, Mbak Sinta. Saya menantikan buku terakhir dari trilogi the road to the Empire #eaa *runrunfast*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar